|
Balanced-Scorecard: Tak Sekedar Alat Ukur Kinerja |
Setelah
menulis buku The Balanced-Scorecard, Robert S Kaplan dan David P. Norton
melanjutkannya dengan buku-buku lain yang juga menjadi bagian dari pengembangan
konsep awalnya. The Balanced Scorecard adalah buku yang fenomenal karena mampu
mengubah wajah sistem pengukuran kinerja sektor privat dan kini pun diadopsi di
sektor publik termasuk instansi pemerintah kita.
Balanced-Scorecard
adalah bagian dari strategi manajemen kinerja. Konsepnya sebenarnya sederhana
saja. Di masa lalu, pengukuran kinerja hanya mengandalkan data-data keuangan.
Aspek akuntansinya sangat kental. Analisisnya kinerjanya pun lebih banyak didasarkan
pada analisis laporan keuangan. Di sisi lain, banyak hal yang tidak bisa ‘di
akuntansikan’. Misalnya, bagaimana mencatat ikan yang ada di laut sebagai aset
pemerintah, atau bagaimana pengelola klub sepak bola mencatat David Backham
sebagai aset. Dalam beberapa hal memang laporan keuangan sedikit banyak
membantu memotret secara keseluruhan organisasi. Pemda kaya atau miskin bisa
jadi bisa dilihat dari besarnya PAD. Klub hebat bisa tercermin dari laba yang
dihasilkan. Namun, mengandalkan laporan keuangan tentu tidak akan membuat
pembaca memahami beda pemda dengan pelayanan publik bagus atau tidak, klub yang
punya masa depan atau yang akan tumbang.
Balanced-Scorecard,
sebagaimana namanya, mencoba menyeimbangkan antara penyajian aspek finansial
dan non finansial. Menurut Kaplan dan Norton, aspek-aspek tersebut adalah:
(*) Financial atau keuangan: ya..seperti sebelumnya disini
aspek keuangan yang dinilai. Dalam konteks perusahaan aspek finansial ini lebih
menekankan bagaimana perusahaan di mata para pemegang saham. Tentu, dari aspek
profitnya. Di sektor publik, aspek finansial bisa di lihat dari sisi bagaimana
instansi pemerintah mendapatkan pendanaan. Atau, bagaimana instansi pemerintah
membiayaai program-programnya.
(*) Customer atau pelanggan: aspek ini mencoba menjawab “How
do customers see us?” atau apa pendapat pelanggan perusahaan. Kalau di perbankan
bisa kita contohkan dari seberapa ramah customer service dalam melayani,
seberapa cekatan teller, atau seberapa responsif bagian pengaduan layanan
menghadapi komplain2.
(*) Internal business processes
atau proses binis internal: berfokus pada proses penyediaan layanan. Misalnya,
seberapa efektif standar dan prosedur operasi yang disusun dan apakah sistem
informasi yang dibangun mendukung kecepatan layanan.
(*) Learning and growth: nah, ini yang paling saya
sukai. Aspek ini menekankan pada “How can we continue to improve, create value
and innovate?”.
Intinya bagaimana organisasi mendukung pada pembentukan SDM yang mumpuni.
Keempat
aspek Balanced-scorecard tersebut menjadi bagian penting dari informasi yang
harus diketahui oleh manajemen. Sehingga, di butuhkan alat ukur untuk menilai
bagaimana organisasi menangani pelanggan, cara organisasi menjalankan proses
bisnisnya, serta komitmen organisasi terhadap pengembangan sumberdaya manusia.
Dan terakhir, bagaimana akhirnya ketiga aspek tersebut terintegrasi dan
mendukung pencapaian hasil akhir berupa profit atau aspek finansialnya. Hal ini
tentu dalam beberapa hal berbeda dengan organisasi sektor publik dimana aspek
finansial tidak diletakkan pada ujung cerita, melainkan di awal ataupun di
tengah-tengahnya.
Dalam
banyak hal balance scorecard lebih sering dipahami dan digunakan sebagai alat
ukur kinerja. Artinya, penerapan balanced-scorecard terbatas digunakan pada
saat melakukan pengukuran kinerja. Tidak begitu salah sebenarnya. Hanya saja
penggunaan balanced-scorecard sebatas pada pengukuran kinerja sebenarnya justru
melemahkan keampuhan konsepnya sendiri. Padahal, jika balanced-scorecard
dipahami dan digunakan sebagai bagaian dari strategi perusahaan
Dalam
buku Strategi Maps Kaplan dan Norton kembali menegaskan bagaimana seharusnya
memperlakukan balanced scorecard. Hal ini didasari oleh banyaknya kesalahan
dalam memahami. Balanced scorecard lebih sering dimaknai sebagas matrik-matrik
alat ukur, atau indikator, kinerja. Padahal, bukan hanya itu. Salah satu
kutipan yang layak untuk didiskusikan adalah ketika mereka membincangkan
masalah SDM. Khususnya di bagian Introduction yang saya rasakan begitu menohok.
Mereka katakan
“What’s true of companies is even truer for countries. Some
countries such as Venezuela and Saudi Arabia, have high physical resource
endowments but have made poor investments in their people and systems. As a
consequence, they produce far less output per person, and experience much
slower growth rate, than countries such as Singapore and Taiwan that have few
natural resources but invest heavily in human and information capital and
effective internal systems”
Untunglah
Kaplan dan Norton tidak menyebut Indonesia. Mungkin karena jaraknya lebih jauh
dari Amerika dibanding kedua negara yang ia sebutkan hingga tak
terfikirkan.Venezuela disebut mbah Wiki sebagai negara dengan extremely high biodiversity. Venezuela juga disebut
pernah sebagai negara pengekspor minyak terbesar dunia dengan persediaan minyak
terbesarnya. Sayangnya setelah mengalami krisis minyak akibat menurunnya
permintaan minyak dunia di tahun 1980 akibat krisis global Venezuela didera
masalah tak berkesudahan. Negeri tersebut dibelenggu hutang, inflasi meningkat
100% di tahun 1996 dan kemiskinan pun mencapai angka 65% di tahun 1995. Meski
sempat sedikit membaik di tahun 2001, ekonomi Venezuela sepertinya terus
terguncang. Inflasi november 2013 kabarnya mencapai 54%.
Venezuela
juga dikenal dengan tingginya tingkat korupsi. Bahkan penemuan minyak justru
dianggap memperparah korupsi. Akhir 1970an Juan Pablo PĂ©rez Alfonso’s, diplomat
dan politisi negara tersebut, menganggap minyak sebagai “the Devil’s
excrement”. Venezuela juga menjadi rute perdagangan narkoba. Kasus pembunuhan
juga sangat tinggi, bahkan menempati salah satu tertinggi di dunia. Tahun 2009
tingkat pembunuhan mencapai 57 per 100,000.Hmmmm….
Bagaimana
dengan Saudi Arabia? Sebenarnya menyandingkan Venezuela dengan Saudi Arabia
tidaklah terlalu tepat menurut saya. Kondisi yang ada Saudi Arabia tetap
menjadi negara kaya dengan rakyatnya yang makmur. Jika ukuran yang digunakan
adalah GDP maka sebagaimana yang dinyakan mBah Wiki, negara ini menempati
urutan 19 di dunia. Hanya saja dalam diskusi masalah pembangunan ekonomi Saudi
Arabia jarang dijadikan perbincangan. Barangkali dianggap biasa kalau GDP
tinggi karena topangan sumber daya yang maksimal. Berbeda kalau yang
dibincangkan adalah Singapura, Swiss atau Jepang yang lebih mengandalkan
sumberdaya manusia. Wajar pula barangkali. Kita tentu tidak tertarik
memperbincangkan kisah sukses seseorang yang dari sono-nya memang sudah kaya.
Sebaliknya, kita akan antusias saat membaca bagaimana orang-orang dari kalangan
bawah bisa menggapai mimpinya.
Ups…maaf
makin jauh saja. Jadi, inti dari konsepsi balanced scorecard dalam sebuah
strategi adalah bagaimana mengintegrasikan keempat aspek tersebut kedalam
strategi organisasi. Dalam konteks instansi pemerintah adalah bagaimana
memandang SDM sebagai satu kekuatan untuk menghasilkan layanan publik yang
maksimal untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Alhasil, jika semua berjalan
pada akhirnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dalam
pertumbuhan ekonomi juga akan terlihat. (Bagian 1 serial balanced-scorecard).
---------------------------end.
Kontributor
: Nur Ana Sejati dalam obrolan Warung Kopi Pemda
Balanced-Scorecard:
Tak Sekedar Alat Ukur Kinerja, repost by Rulianto Sjahputra.
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter