|
Upacara pemakaman Presiden Soekarno |
Judul asli :
Selamat Jalan Adipati Karna
Sumber :
Pena Soekarno, Hari2 Terakhir Sukarno & berbagai sumber
Inggit berucap,“Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit di doakeun…” (Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan….).
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dr. Mahar Mardjono salah satu tim dokter
kepresidenan melakukan pemeriksaan rutin kepada pasien istimewanya di ruangan
ICU RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Kondisi pasiennya ini yang tak lain adalah
mantan Presiden RI pertama Ir. Soekarno semakin lemah sejak dilarikan dari
rumah tahanannya di Wisma Yaso pada Selasa, 16 Juni 1970 yang hanya berjarak lima kilometer dari rumah sakit ini.
Dengan hati-hati dan
penuh hormat Dr. Mahar Mardjono memeriksa tubuh sang proklamator tersebut yang terasa
semakin panas. Sesaat,… tangan Soekarno memegang lengan sang dokter sangat
lemah dengan sisa tenaga yang ada. Untuk kemudian tangan tersebut kembali
terhempas jatuh lunglai, dan….. tak bergerak lagi untuk selamanya dengan akhir kata terdengar berdesis suara pelan meluncur dari bibirnya,…
‘Allaaah’, kata terakhir yang terucap. Komplikasi sakit ginjal, sesak napas, gagal jantung dan rematik tak kuat
ditahan oleh tubuhnya. Yang pasti, Allah telah memanggilnya untuk kembali ke
sisi-NYA.
Tangis pecah pada posisi jam Pukul 07.07 WIB, seorang manusia bernama Soekarno kembali kepada penciptanya.
Satu hal yang tak dapat dielakkan oleh semua makhluk yang ada
dimuka bumi, “Kematian” yah kematian. Tak terkecuali Sang Pemimpin Besar
Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sang Proklamator, Panglima
Tertinggi ABRI, Presiden RI Bung Karno. Bung Karno dengan pidatonya dapat
menggerakkan lautan manusia, dengan kepalan tangannya hanyutlah Belanda dalam
samudera revolusi, tapi yang jelas Soekarno takkan mampu mengelak sedetikpun
dari kematian.
|
Saat penguburan jasad Ir. Soekarno |
Masih seputar suasana kelabu di hari-hari wafatnya Sukarno, Sang
Proklamator. Ini tentang bagaimana para istri dan mantan istri presiden yang gallant itu bereaksi, bersikap, dan
bertutur ihwal kepergian lelaki yang begitu dipuja. Ternyata, sekalipun
memiliki perasaan yang sama dalam hal cinta, tetapi berbeda-beda ekspresi
mereka menerima kematian mantan suami atau suami mereka.
Inggit Garnasih, istri kedua Sukarno yang dinikahi tahun 1923,
adalah wanita yang dengan setia mengikuti dan mendukung perjuangan Sukarno
sejak usia 21 tahun. Ia bahkan turut serta dalam setiap pengasingan Bung Karno,
mulai dari Ende sampai Bengkulu. Ia lahir tahun 1888, lebih tua 12 tahun dari
Bung Karno. Itu artinya, saat “nKus” panggilan kesayangan Inggit kepada Bung
Karno, wafat, usia Inggit 82 tahun.
Nah, di usia yang sepuh,
dan dalam kondisi sakit… ia menerima berita duka pada hari Minggu, 21 Juni 1970.
Ia tergopoh-gopoh berangkat dari Bandung menuju Jakarta, ditemani putri
angkatnya, Ratna Juami. Dalam batin, ia harus memberi penghormatan kepada
mantan suami yang telah ia antar ke pintu gerbang kemerdekaan.
Setiba di Wisma Yaso, di tengah lautan massa yang berjubel,
berbaris, antre hendak memberi penghormatan terakhir, Inggit –tentu saja–
mendapat keistimewaan untuk segera diantar mendekat ke peti jenazah. Di dekat
tubuh tak bernyawa di hadapannya, Inggit berucap,“Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit
di doakeun…” (Ngkus,
kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan….). Sampai di situ, suaranya terputus,
kerongkongan terasa tersumbat. Badannya yang sudah renta dan lemah, terhuyung
diguncang perasaan sedih. Sontak, Ibu Wardoyo, kakak kandung Bung Karno (nama
aslinya Sukarmini) memapah tubuh tua Inggit. (dikutip dari buku 'Hari-Hari Terakhir Sukarno' Karya
Peter Kasenda, terbitan Komunitas Bambu.).
|
Moment indah sang proklamator bersama istri. |
Lain lagi Fatmawati, istri ketiga Bung Karno yang pergi
meninggalkan Istana setelah Bung Karno menikahi Hartini. Ia adalah sosok
perempuan yang teguh pendirian. Ia sudah bertekad tidak akan datang ke Wisma
Yaso. Karenanya, begitu mengetahui ayah dari lima putra-putrinya telah
meninggal, ia segera memohon kepada Presiden Soeharto agar jenazah suaminya
disemayamkan di rumahnya di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru, meski sebentar.
Sayang, Soeharto menolak permintaan Fatmawati.
Hati Fatma benar-benar galau. Antara jerit hati ingin melihat
wajah suami untuk terakhir kali, dengan keteguhan prinsip. Bahkan,
putra-putrinya pun tidak ada yang bisa mempengaruhi keputusan Fatma untuk tetap
tinggal di rumah. Meski, atas kesepakatan semua pihak, peti jenazah tidak
ditutup hingga batas akhir jam 24.00, dengan harapan, Fatma datang pada
detik-detik terakhir. Apa hendak dikata, Fatma tak juga tampak muka.
Pengganti kehadiran Fatma, adalah sebuah karangan bunga dari si
empunya nama. Dengan kalimat pendek dan puitis, Fatma menuliskan pesan, “Tjintamu yang menjiwai hati rakyat,
tjinta Fat”… Sungguh mendebarkan kalimat itu, bagi siapa pun yang
membacanya.
Bagaimana pula dengan Hartini? Ah… melihat Hartini, hanya duka dan
duka sepanjang hari. Wajah cantik keibuan, mengguratkan kelembutan. Sinar
matanya penuh kasih sayang… Ia tak henti menangis. Hartini, salah satu istri
yang begitu dicintai Sukarno, sehingga dalam testamennya, Sukarno menghendaki
agar jika mati, Hartini dimakamkan di dekat makamnya. Ia ingin selalu dekat
Hartini, wanita lembut keibuan yang dinikahinya Januari 1952.
Kebetulan, Hartini pula yang paling intens merawat dan menemani
Bung Karno hingga akhir hayatnya. Sampai-sampai, Rachmawati, salah satu putri
Bung Karno yang kebetulan juga paling intens menemani bapaknya di hari-hari
akhir kehidupannya, memuji Hartini sebagai istri yang sangat setia dan baik
hati. Rachma yang semula berperasaan tidak menyukai Hartini –dan ini wajar
saja– menjadi dekat dan akrab dengan Hartini.
Semula, Rachma hanya berpura-pura baik dengan Hartini di depan
bapaknya. Sebab, Rachma tahu betul, bapaknya begitu senang jika ada Hartini di
dekatnya. Bapaknya begitu mencintai Hartini. Dan… dengan kesabaran,
ketelatenan, dan perhatian tulus Hartini kepada Bung Karno di hari-hari akhir
hidupnya, sontak membuka mata hati Rachma tentang sosok Hartini. Sejak itulah
tumbuh keakraban dan kecintaan Rachma kepada Ibu Hartini.
|
Salah satu pejuang sejati |
Lain Inggit, beda Fatma, dan tak sama pula sikap Hartini… adalah
ekspresi imported wife,
si jelita Ratna Sari Dewi, wanita Jepang benama asli Naoko Nemoto. Wanita
kelahiran tahun 1940 yang dinikahi Bung Karno 3 Maret 1962 itu memang dikenal
lugas. Ia datang ke Jakarta bersama Kartika Sari (4 th) pada tanggal 20 Juni
1970 pukul 20.20 malam. Mengetahui suaminya lunglai tak berdaya, dirawat dalam
penjagaan ketat tak manusiawi.
Hati Dewi teriris, terlebih bila mengingat anaknya sama sekali
belum pernah berjumpa dengan ayahnya. Dalam catatan, Dewi pernah berkunjung ke
Wisma Yaso saat hamil, tapi tentara melarangnya masuk. Dewi marah, karena
kesulitan yang dialaminya. Ia, sebagai istri sah Sukarno, tidak bisa leluasa
menengok apalagi menemani hari-hari Sukarno yang sedang bergulat dengan maut.
Latar belakang budaya yang berbeda, membuat Dewi kelihatan sangat
vokal pada zamannya. Ia pernah marah besar kepada Soeharto dengan melontarkan
ucapan pedas melalui surat terbuka tanggal 16 April 1970. Begini sebagian isi
surat itu:
“Tuan Soeharto, Bung Karno itu saya
tahu benar-benar sangat mencintai Indonesi dan rakyatnya. Sebagai bukti bahwa
meskipun ada lawannya yang berkali-kali menteror beliau, beliau pun masih mau
meberikan pengampunan kalau yang bersangkutan itu mau mengakui kesalahannya.
Dibanding dengan Bung Karno, maka ternyata di balik senyuman Tuan itu, Tuan
mempunyai hati yang kejam. Tuan telah membiarkan rakyat, yaitu orang-orang PKI
dibantai. Kalau saya boleh bertanya, ‘Apakah Tuan tidak mampu dan tidak mungkin
mencegahnya dan melindungi mereka agar tidak terjadi pertumpahan darah?”
Bukan hanya itu. Penampilan Dewi yang masih tampak begitu cantik
di suasana duka, seperti menjadi icon. Terlebih dengan
keterbukaan sikapnya. Seperti saat dengan penuh emosi ia melabrak Harjatie,
istri Bung Karno yang telah diceraikan itu, sebagai seorang istri yang menyia-nyiakan
Bung Karno, menuduh Harjatie meninggalkan Sukarno di masa-masa sulit. Harjatie
pun menangis, dan bergerak meninggalkan tempat itu.
Begitulah, empat dari (setidaknya) delapan wanita yang pernah
diperistri Bung Karno. Sama dalam mencinta, beda dalam mengekspresikan duka.
|
Selamat jalan presidenku, tidak akan sia2 pahala bagi pejuang sejati |
Semat Jalan
Adipati Karna.
Selamat
jalan presidenku.
Sumber/source
artikel : Pena Soekarno, Hari2 Terakhir Soekarno (Peter Kasenda) & berbagai sumber
Sumber/source
foto/gambar : tonys file dalam Pena Soekarno
Repost by Rulianto
Sjahputra
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter