Resistensi
Pada Perubahan
Pengertian, Pemahaman dan Definisi Resistensi
Resistensi (Inggris: resistance) berasal dari kata resist + ance [1]adalah menunjukan pada posisi sebuah sikap untuk berperilaku
bertahan, berusaha melawan, menentang atau upaya oposisi pada umumnya sikap ini tidak berdasarkan atau merujuk pada
paham yang jelas.
Schein (1988) berpendapat resistensi terhadap
perubahan menjadi salah satu yang paling mendasar pada fenomena organisasi.
Sejumlah penulis telah menentukan resistansi. Misalnya, Ansoff (1988, hal. 207)
mendefinisikan resistensi sebagai fenomena beragam, yang memperkenalkan
penundaan tak terduga, biaya dan ketidakstabilan ke dalam proses perubahan
strategis, sementara Zaltman dan Duncan (1977, hal. 63) mendefinisikan
resistensi sebagai setiap perilaku yang berfungsi untuk mempertahankan status
quo dalam menghadapi tekanan untuk mengubah status quo.
Dengan
demikian, resistensi, dalam pengaturan organisasi, adalah ekspresi dari
pemesanan yang biasanya muncul sebagai respon atau reaksi untuk mengubah (Block
1989, hal. 199). Ungkapan ini biasanya disaksikan oleh manajemen sebagai
tindakan karyawan yang dianggap mencoba untuk menghentikan, menunda, atau
mengubah perubahan (Bemmels dan Reshef, 1991, hal. 231). Jadi resistensi paling
sering dikaitkan dengan sikap karyawan negatif atau dengan perilaku
kontra-produktif.
Note ......
|
Resistensi tidak hanya dilihat sebagai perilaku kelompok/organisasi
semata, tetapi juga menyangkut prilaku individu personal.
|
Pemahaman Resistensi
Resistensi/perlawanan
secara klasik dipahami sebagai penyebab dasar konflik yang tidak diinginkan dan
merugikan kesehatan organisasi. Selama tahun 1940-an teori dianggap kesatuan tujuan
menjadi ciri khas sebuah organisasi teknis efisien dan unggul, sementara
mempertimbangkan pluralisme dan sikap yang berbeda sangat mengurangi
efektivitas organisasi dan menghambat kinerjanya. Oleh karena itu resistensi
dipahami sebagai munculnya pendapat yang berbeda yang mengurangi kemampuan
organisasi dan pekerja tahan dicat sebagai subversif yang kepentingan diri
individu berbenturan dengan kepentingan umum dan kesejahteraan organisasi.
Teori
sumber daya manusia awal juga melemparkan resistensi dalam cahaya yang negatif
dengan mengamati sebagai bentuk konflik dimana indikasi dari kerusakan dalam
interaksi normal dan sehat yang dapat terjadi antara individu dan kelompok.
Sekali lagi, resep itu untuk menghindari resistensi untuk mengembalikan harmoni
ke organisasi (Milton et al., 1984, hal. 480).
Manfaat Resistensi
Hultman
(1979, hal. 54) menulis bahwa “Sayangnya, ketika kata resistansi disebutkan,
kita cenderung menganggap konotasi negatif untuk itu. Ini adalah konsep yang
salah. Ada banyak waktu ketika resistensi adalah respon yang paling efektif
yang tersedia. “Leigh (1988, hal. 73) juga menulis bahwa” perlawanan adalah
tanggapan sah seorang pekerja “dan Zaltman dan Duncan (1977, hal. 62) mengutip
Rubin mengatakan resistensi yang harus digunakan secara konstruktif.
Resistensi
dapat memainkan peran yang berguna dalam upaya perubahan organisasi jelas
berdiri disejajarkan dengan pola pikir tradisional yang akan melihatnya sebagai
hambatan yang biasanya ditemui dalam perjalanan ke suatu proses perubahan yang
berhasil. Namun demikian, itu adalah kesimpulan yang dicapai oleh berbagai
penulis yang menunjukkan bahwa ada sejumlah keuntungan perlawanan. Bila
dikelola dengan baik, keuntungan ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh
organisasi untuk sangat membantu perubahan.
Dalam
kombinasi, aspek-aspek resistensi membuat kasus persuasif untuk mengevaluasi
kembali pemahaman klasik perlawanan. Sama, mereka mempertanyakan asumsi bahwa
upaya perubahan yang bertemu dengan sedikit perlawanan harus secara otomatis
dianggap perubahan “baik”. Proses legislatif, misalnya, adalah didasarkan pada
resistensi memainkan peran penting dalam memastikan hukum terbaik yang
dihasilkan. Perlawanan, dalam bentuk persaingan antara (setidaknya) dua pihak,
menyuntikkan energi ke dalam proses dan percikan api perdebatan di mana
pendapat berbeda. Perlawanan mendorong pengawasan yang lebih besar
undang-undang. Ia meminta mencari berbagai alternatif dan mengevaluasi ini
dengan ketelitian yang lebih besar. Ini juga berarti bahwa proses implementasi
akan dipertimbangkan dengan hati-hati, dengan demikian meningkatkan adopsi dari
perubahan ini oleh masyarakat umum.
Pengelolaan resistensi
Saran
dan resep manajemen resistensi yang benar mengandung dualisme ingin tahu,
sedangkan mereka muncul untuk merangkul banyak pemahaman resistensi yang
diperoleh dari tahun 1960-an dan 1970-an mereka secara bersamaan mengabaikan
saran bahwa, dalam kasus tertentu, ada utilitas yang bisa diperoleh.
Saran
yang luar biasa dalam literatur manajemen adalah bahwa teknik partisipatif
adalah metode terbaik untuk penanganan resistensi. Partisipasi karyawan dalam
manajemen sebagai sarana menyelesaikan resistensi telah diteliti sejak
pertengahan 1940-an. Penelitian kontemporer oleh Lewin (1991) dan Coch dan
Perancis (1948) menyimpulkan bahwa keduanya terlibat dalam tahap pembelajaran,
perencanaan dan pelaksanaan proses perubahan secara signifikan yang mempengaruhi
komitmen untuk berubah dan tampaknya bisa menurunkan resistensi.
Pada dasarnya,
argumen di balik teknik manajemen partisipatif adalah bahwa, melalui proses
yang dikelola dengan hati-hati dari dua arah komunikasi, berbagi informasi dan
konsultasi, karyawan cenderung menjadi lebih berkomitmen terhadap upaya
perubahan, bukan hanya tersisa sesuai dengan itu (Kotter et al., 1986, hal
355;. Makin et al, 1989, hal 165;.. Putih dan Bednar, 1991, hal 510).. Tanpa
memasuki perdebatan berkaitan dengan pro dan kontra dari gaya manajemen
partisipatif, jelas bahwa teknik tersebut sangat menganjurkan mana resistensi
diharapkan akan tinggi, tujuan yang untuk sekadar mengurangi tingkat resistensi
benar-benar ditemui. Asumsi laten tampaknya adalah bahwa resistensi kurang
dihadapi oleh upaya perubahan, semakin baik. Sangat jarang yang mengusulkan
bahwa perlawanan harus dimanfaatkan.
Perubahan
:
Pengertian Perubahan
Kata “perubahan” telah menjadi sangat popular belakangan ini. Dari
forum-forum informal seperti obrolan di kantin-kantin sampai yang sangat formal
dibicarakan oleh para ahli strategi di korporasi bisnis, universitas ataupun
lembaga pemerintahan, nampak antusiasme yang sangat tinggi ketika topik yang
dibahas adalah mengenai perubahan. Perubahan teknologi yang revolusioner,
perubahan sosial-politik dan ekonomi, konsumen yang makin sulit diprediksi,
lingkungan bisnis yang makin kompleks, dan lain sebagainya. Angin perubahan memang
tengah dan akan terus berhembus, bahkan meningkat kecepatannya dari hari ke
hari.
Namun, antusiasme itu seringkali tak tertransformasikan secara
baik ke level operasional. Mind-set ataupun paradigma tentang perubahan
seringkali lebih terapresiasi ketika masih dalam tahap formulasi
strategi. Dan ketika ide itu diadopsi dan selanjutnya diimplementasi,
resistensi pun muncul kemudian, bahkan kadangkala ketika sebuah awal sedang
dimulai.
Leonardo da Vinci pun pernah menulis: “It is easier to resist
at the beginning than at the end”. Banyak yang sepakat dengan pernyataan
tersebut. Ini terjadi pada banyak organisasi, dimana resistensi hampir tidak
pernah absen ketika organisasi tersebut mulai menerapkan sesuatu yang baru,
entah itu strategi baru, proses baru ataupun sistem yang baru sebagai
antisipasi terhadap perubahan-perubahan eksternal.
Penerapan strategi baru, proses baru ataupun sistem baru memang
identik dengan perubahan-perubahan internal lainnya. Bahkan ketika organisasi
mencanangkan suatu visi barupun, banyak perubahan yang harus menyertainya. Visi
menjadi universitas terkemuka di dunia misalnya, haruslah disertai perubahan
dalam kapabilitas layanan akademis, teknologi, disiplin dan komitmen, bahasa
internasional, dan perubahan-perubahan lain yang sangat mendukung pencapaian
visi tersebut.
Dikaitkan
dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan
bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition,
dan change.
Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak
banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa
dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka
diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari perubahan
tersebut mengarah pada titik positif.
Masalah dalam perubahan
Banyak
masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling
sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang
sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance
to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru
karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara
sembarangan.
Penolakan
atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar.
Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan
protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat
(implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang,
motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat,
dan lain sebagainya.
Sumber Penolakan
Dapatlah dikategorikan
sumber penolakan atas perubahan, yaitu penolakan yang dilakukan oleh individual dan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasional.
Alasan Utama Resistensi terhadap
Perubahan
Kebanyakan orang tidak senang dengan perubahan karena mereka
memang tidak senang diubah. Bahkan ada yang mengatakan: “Lakukanlah suatu
perubahan, maka kamu akan mendapatkan musuh baru!”. Begitu menakutkannyakah
suatu perubahan? Lantas apa yang terjadi sebenarnya?
Resistensi atau penolakan pada perubahan pada umumnya akan terjadi
ketika ada sesuatu yang mengancam ‘nilai’ seseorang atau individu. Ancaman
tersebut bisa saja riel atau sebenarnya hanya suatu persepsi saja. Dengan kata
lain, ancaman ini bisa saja muncul dari pemahaman yang memang benar atas
perubahan yang terjadi atau sebaliknya karena ketidakpahaman atas perubahan
yang terjadi.
Coba diuraikan secara lebih terinci, berikut adalah beberapa
alasan utama orang melakukan perlawanan terhadap perubahan (dari berbagai
sumber):
§ Takut
terhadap kemungkinan yang tidak diketahui.
Perubahan berimplikasi pada ketidakpastian, dan ketidakpastian
adalah sesuatu yang tidak memberikan kenyamanan. Ketidakpastian berarti
keraguan atau ketidaktahuan terhadap apa yang mungkin akan terjadi. Ini dapat
menimbulkan rasa takut, dan menolak perubahan menjadi tindakan yang dapat
mengurangi rasa takut itu.
§ Takut
akan kegagalan.
Perubahan mungkin menuntut keterampilan dan kemampuan diluar
kapabilitasnya. Resistensi terhadap pendekatan/strategi baru kemudian muncul
karena orang mengetahui bagaimana operasionalisasinya, sementara mereka merasa
tidak memiliki keterampilan baru atau perilaku baru yang dituntut.
§ Tidak
sepakat dengan kebutuhan akan perubahan.
Anggota organisasi merasa bahwa langkah yang baru adalah langkah
yang salah dan tidak masuk akal.
§ Takut
kehilangan sesuatu yang bernilai baginya.
Setiap anggota organisasi tentu ingin mengetahui bagaimana dampak
perubahan pada mereka. Jika merasa yakin bahwa mereka akan kehilangan sesuatu
sebagai hasil dari penerapan perubahan, maka mereka akan menolak.
§ Enggan
meninggalkan ‘wilayah’ yang sudah nyaman.
Seringkali orang merasa takut menuruti ‘keinginan’ melakukan hal
baru karena akan memaksa mereka keluar dari wilayah yang selama ini sudah
nyaman. Melakukan hal baru juga mengandung sejumlah risiko tentunya.
§ Keyakinan
yang salah.
Tidak sedikit orang merasa yakin bahwa segala sesuatu akan selesai
dengan sendirinya, suatu saat, tanpa melakukan apapun. Sebenarnya hal demikian
sekadar untuk memudahkan diri sendiri dan menghindar dari risiko. Itu tindakan
yang sungguh bodoh!
§ Ketidakpahaman
dan ketiadaan kepercayaan.
Anggota organisasi menolak perubahan ketika mereka tidak memahami
implikasinya dan menganggap bahwa perubahan bisa jadi hanya akan lebih banyak
membebani daripada apa yang dapat diperoleh. Situasi demikian terjadi apabila
tidak ada kepercayaan antara pihak yang mengusulkan perubahan dengan para
anggota organisasi.
§ Ketidakberdayaan
(inertia).
Setiap organisasi bisa mengalami suatu kondisi ketidakberdayaan
pada tingkatan tertentu, dan karenanya mencoba mempertahankan status quo.
Perubahan memang membutuhkan upaya, bahkan seringkali upaya yang sangat serius,
dan kelelahan pun bisa terjadi.
Mengatasi Resistensi terhadap Perubahan
Angin perubahan akan terus berhembus, dan kita tak mampu
mencegahnya, apalagi menghentikannya. Ia ada di sekitar kita, dalam berbagai
bentuk dan jenisnya. Segala yang ada di dunia pun segera menjadi tua, usang,
dan harus diganti. Harus diubah.
Namun, tidaklah mudah memang meyakinkan dan menerapkan suatu
perubahan. Salah-salah, ide perubahan yang begitu cemerlang sulit diaktualisasi
karena diiringi oleh kecurigaan, kemarahan, perlawanan, atau bahkan sabotase.
Jika ini yang kita alami, maka semangat ‘jump out of the box’ yang kita
nyalakan akan padam perlahan-lahan.
Lalu bagaimana mengatasi hal tersebut? David (2001) mengusulkan
tiga pendekatan yang dapat diterapkan:
§ Force
change strategy. Bahwa perubahan harus terjadi (dipaksakan) dan orang yang dapat
mengharuskan terjadinya perubahan adalah orang yang memiliki kekuasaan, yaitu
pimpinan. Ketika pimpinan yang memiliki kekuasaan formal telah memutuskan
adanya perubahan, maka anggota organisasi harus menerima perubahan tersebut.
Pendekatan ini tidak selalu buruk, jika diterapkan pada kondisi yang tepat.
§ Educative
change strategy. Yaitu mengedukasi, atau memberikan pengetahuan dan informasi
tentang perlunya suatu perubahan. Melalui edukasi, anggota organisasi
diharapkan akan memahami pentingnya perubahan sehingga merekapun akan menerima
perubahan tersebut.
§ Rational/self-interest
change strategy. Yaitu menunjukkan benefit yang akan diperoleh individu dari
diterapkannya suatu perubahan, sehingga individu tersebut dengan sendirinya
akan tertarik melakukan perubahan-perubahan.
Terlepas dari manapun strategi yang kita terapkan dalam mengatasi
penolakan terhadap perubahan, hal-hal berikut ini yang sangat menentukan
keberhasilannya:
§ Komunikasi
dan edukasi. Komunikasi maupun edukasi harus dilakukan secara efektif, sehingga
semangat dan ide dibalik perubahan yang akan diterapkan dapat ditangkap oleh
seluruh anggota organisasi. Efektifitas komunikasi dapat menekan ketidakpahaman
akan pentingnya perubahan yang berujung pada penolakan. Ciptakan jalur-jalur
komunikasi yang tepat dan manfaatkan juga forum informal untuk
mensosialisasikan suatu perubahan.
§ Keterlibatan
dan partisipasi. Apresiasi dan penghargaan terhadap kapabilitas anggota
organisasi harus terus mendapat tempat. Karena keterlibatan dan partisipasi
anggota organisasi dalam mengadopsi maupun mengimplementasi perubahan akan
memotivasi dan mendorong semangat mereka dalam menerima perubahan itu sendiri.
§ Dukungan
dan fasilitasi. Ide perubahan tentu saja membutuhkan dukungan dan juga fasilitas
yamg memadai dari organisasi. Terus mengakomodasi untuk munculnya ide-ide baru
maupun penggodokan langkah-langkah yang diperlukan untuk pelaksanaannya,
menjadi sangat urgen. Tanpa fasilitasi, perubahan hanya sebatas ide diatas
kertas dan bahkan bisa menimbulkan kesinisan atau sikap apatis.
§ Kesepakatan
dan negosiasi. Perubahan yang akan diterapkan organisasi mustinya bukan ide
satu orang atau satu pihak saja, melainkan hasil kesepakatan dan negosiasi
lintas orang, tim ataupun fungsi. Hal ini sangat penting untuk harmonisasi dan
terhindar dari konflik yang justru akan bersifat kontraproduktif.
§ ‘Pemaksaan’ secara
eksplisit dan implisit. Pemaksaan pada suatu level tertentu seringkali
dibutuhkan. Tentu kita harus menerapkannya secara tepat dan proporsional,
seperti aturan main yang tegas tentang bagaimana perubahan akan dilaksanakan,
atau ketika terjadi kemandekan.
§ Manipulasi
dan kooptasi. Ini tentunya yang harus dihindari dalam arti yang sebenarnya. Di
era yang menuntut kesoliditasan kerjasama tim ini, manipulasi dan kooptasi
justru dapat mendorong munculnya kecurigaan atau bahkan kemarahan yang sangat
kontraproduktif.
Kooperatif dengan Perubahan
Teori Perubahan mengatakan bahwa ‘human systems seek
homeostasis and equilibrium’. Begitupun hukum Newton yang hampir senada
mengatakan bahwa ‘a body at rest tends to stay at rest’. Jadi memang
pada dasarnya manusia cenderung lebih menyenangi dunia yang stabil dan
terprediksi. Sifat ini cukup natural.
Namun kenyataan yang kita hadapi adalah bahwa dunia ini ternyata
tidaklah selalu stabil. Justru dinamikanya luar biasa tinggi. Duniapun menjadi
sulit diprediksi. Maka, jika kita terus menerus hanya menginginkan kestatisan,
jangan-jangan kitalah yang menjadi tokoh dibalik pepatah “Seperti katak dalam
tempurung”.
Kunci pertama dalam menghadapi perubahan adalah memahami bahwa
perubahan tidak akan berhenti. Kadangkala bahkan perubahan-perubahan ini
(seperti perubahan lingkungan, persaingan atau pasar global) tidak ada
presedennya. Maka kita harus berteman dengan perubahan. Keinginan saja yang
kuat untuk sukses/berhasil dalam dunia yang berubah cepat ini, tentu tidaklah
cukup. Melainkan harus diimbangi dengan semangat yang tinggi untuk belajar
melihat perubahan sebagai teman. Teman yang memberikan begitu banyak peluang
untuk perbaikan dan pertumbuhan.
Fleksibilitas kemudian menjadi kunci berikutnya yang perlu kita
miliki untuk menghadapi dunia yang sulit diprediksi ini. Kita harus membangun
sebesar mungkin derajat fleksibilitas dalam organisasi, karena fleksibilitas
sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup (survival) kita. Charles Darwin yang
sangat terkenal dengan teorinya tentang evolusi kehidupan pun mengatakan: “It’s
not the strongest nor most intelligent of the species that survive; it is the
one most adaptable to change”.
Menjadi yang berbeda, merekayasa ulang cara kita menjalankan
bisnis, adalah bagian dari tindakan-tindakan operasionalisasi yang tak bisa
dihindarkan. Tinggalkan pendekatan atau hirarki lama yang penuh birokrasi dan
tidak efektif atau bahkan hanya memboroskan energi dan kapabilitas yang ada.
Bangun kepercayaan, kepemimpinan, dan lakukan aliansi-aliansi yang memang
sangat dibutuhkan saat ini.
Tujuan
dari kajian ini adalah untuk tidak memberikan jawaban rapi untuk masalah rumit terkait
dengan resistansi. Sebaliknya, itu adalah untuk menunjukkan bahwa, meskipun
pemahaman teoritis perlawanan baik maju, jelas bahwa pengetahuan ini belum
berdampak terhadap persepsi umum manajemen dan karenanya belum ditransfer ke
dalam pengembangan teknik pengelolaan resistensi yang solid.
Tinjauan
tersebut telah menemukan bahwa resistensi tetap sampai dengan hari ini bersifat kompleks,
fenomena multi-faceted yang terus mempengaruhi hasil perubahan, baik negatif
dan positif. Meskipun dari berbagai penelitian telah diperoleh pemahaman yang kuat tentang
perlawanan dan manfaat yang dapat dinikmati oleh organisasi melalui pemanfaatan
yang tepat, tampak bahwa pendekatan permusuhan klasik tetap menjadi sarana
dominan mengelola resistensi karena pembelajaran tersebut tidak tercermin dalam
teknik manajemen modern.
Pustaka
:
David,
Fred R. 2001. Concepts of Strategic Management. 8th Edition.
Prentice Hall, Inc.
De Bono, Silvio. 2006. Creating Growth from
Change. Maastricht School of Management (unpublished).
Iwanibe. 2013, resistensi-sebuah-alat-yang-membangun-untuk-manajemen-perubahan.
(http://iwanibe.weblog.esaunggul.ac.id).
Maurer, Rick. 2006. 12 Steps That Can Build
Support for Change. The Journal for Quality and Participation.
Cincinnati: Spring 2006. Vol. 29, Iss. 1; pg.21.
Michael Hammer dan James Champy, 1994, Reengineering the
Corporation : A Manifesto for Business Revolution.
Pearce II, John A. & Richard B. Robinson.
Jr. 2003. Strategic Management: Formulation, Implementation and Control.
8th Edition. The McGraw-Hill Co., Inc.
Raths, David. 2006. Leading through Change. Network
World. Framingham: Mar 6, 2006. Vol. 23, Iss. 9; pg. 46.
Stephen P. Robbins, , 1991, Organizational Behavior,
Concepts, Controversies, and Application.
Tynan, Dan. 2006. 10 Tips for Managing Change. Infoworld.
San Mateo: Apr 10, 2006. Vol. 28, Iss. 15; pg. 35.
Wahyuningsih. Resistensi
terhadap Perubahan.
Weiss, W. H. 2006. Managing in Changing World. SuperVision.
Burlington: Jun 2006. Vol. 67, Iss. 6; pg. 17.
Wikipedia. Pengertian Resistensi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Resistensi).
………………………………………………………
Resistensi Pada Perubahan
Copyright and Repost by : Rulianto Sjahputra
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter