Terdapat dua kejadian yang memungkinkan selisih harga kontrak yang lebih tinggi daripada harga pasar dapat menjadi suatu kemahalan harga yaitu (1) jika pelaksanaan prosedur pengadaan/lelang menyimpang dari ketentuan yang berlaku sehingga mengakibatkan harga kontrak menjadi tidak kompetitif/wajar; dan (2) jika ternyata diketahui bahwa terdapat aliran cash-back dari penyedia barang/jasa kepada pengguna barang/jasa.
|
Kemahalan Harga Satuan Pekerjaan , Sebuah Dosa Atau Tren Budaya? |
Pembaca yang budiman, pengadaan barang/jasa (PBJ) di lingkungan
pemerintah disinyalir menjadi salah satu sumber pembiakan korupsi di negeri
ini. Dalam beberapa kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang pernah/sedang/telah
di-selidik/sidik/tuntut/vonis oleh Aparat Penegak Hukum (APH), kejadian
pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai spesifikasi kontrak baik secara kuantitas
maupun kualitas atau harga kontrak di atas kewajaran harga pasar adalah trend yang hampir berlaku umum dalam banyak
kasus TPK. Entah kejadian tersebut dilakukan secara sengaja atau hanya karena
ketidaktahuan/kelalaian para pelaku PBJ, namun yang pasti akibatnya negara
(daerah) telah dirugikan karena memperoleh barang/jasa dengan nilai lebih kecil
dibandingkan dengan nilai yang telah dikeluarkan untuk perolehannya itu
sendiri.
Pekerjaan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah
disepakati dalam kontrak memang benar merupakan penyimpangan atas suatu
ketentuan. Tidak hanya ketentuan perundang-undangan yang dilanggar, norma yang
berlaku umum pun tidak akan pernah merestui seseorang (pribadi/badan) melakukan
tindakan ingkar atas janji yang telah disepakati ini. Tak heran, pada kasus ini
belum pernah ada pelaku yang berhasil divonis bebas oleh majelis hakim dalam
suatu persidangan.
Namun terdapat perlakuan yang cukup “unik” untuk kejadian TPK berupa
(indikasi) harga kontrak di atas kewajaran harga pasar. Kemahalan harga adalah
istilah lain yang digunakan untuk mendeskripsikan kejadian ini. “Bajunya ga kemahalan, Bang? Toko-toko
sebelah cuma seharga 50, si Abang ko jualnya
seharga 70..” atau “Mahal sekali, Bang! Baju ini kemarin kan cuma 50, ko sekarang jadi 70?!” adalah sedikit
contoh “protes” umum yang lazim ada dalam satu proses jual beli ketika
mengetahui–dengan sebenarnya dan bukan dalam rangka meningkatkan bargaining–bahwa
harga pasar untuk baju tersebut adalah benar 50 bukan 70.
Pun begitu halnya dengan PBJ yang dibiayai oleh keuangan negara
(daerah). Pada saat harga pasar suatu barang hanya 70 namun negara (daerah)
harus membayar 100 untuk meng-ada-kannya, maka norma umum akan dengan–serta
merta–menjudge bahwa
kejadian itu adalah kemahalan harga dan negara (daerah) telah—serta
merta–dirugikan sebesar 30.
Judgement menurut norma umum ini tidak salah namun tidak
juga–serta merta–benar. Adalah tidak salah karena 100 memang jelas lebih mahal
ketimbang 70, dan bahkan pada pasal-pasal awal ketentuan (pedoman) PBJ pun
telah diatur mengenai efisiensi serta upaya pencegahan terjadinya pemborosan
dan kebocoran keuangan negara dalam prinsip dan etika pengadaan. Namun jika
kejadian 100 versus 70
ini hanya disimpulkan dari fakta saat
itu bahwa harga kontrak adalah 100 dan harga pasar yang wajar adalah 70 tanpa
mendalami adanya fakta dan proses kejadian yang mendahuluinya, maka simpulan
kemahalan harga tadi akan–sangat amat–mungkin untuk terbantahkan.
Mekanisme Kontrak Pengadaan
Pembaca yang budiman,
Kontrak pekerjaan adalah hasil dari proses pengadaan yang tata caranya
telah diatur dalam satu ketentuan (pedoman) pengadaan. Khusus PBJ di lingkungan
pemerintah, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 20110 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang terakhir diubah melalui Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 adalah acuan yang digunakan
oleh pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pengadaan. Karena kontrak
merupakan produk hasil maka
sepanjang proses untuk
membuat hasil itu telah melalui suatu tahapan yang sesuai dengan ketentuan
berlaku dan tidak terdapat penyimpangan di dalamnya maka harga kontrak 100 tadi
tidak dapat disimpulkan menjadi lebih mahal daripada harga pasar 70. Kok bisa?
|
Bijak dalam belanja barang/jasa pemerintah |
Begini, serupa pembelian baju tadi, apakah si Abang salah jika ternyata
menjual baju seharga 70 di saat toko-toko yang lain
hanya memberi label harga 50 pada baju yang sama? Tentu tidak ada yang salah
pada kejadian ini karena dalam etika bisnis memperoleh keuntungan yang besar
tentunya sah-sah saja. Hanya mungkin si Abang penjual harus siap gigit jari
karena pembeli umumnya pasti akan memilih toko baju lain yang menjual dengan
harga lebih murah.
Setali tiga uang dengan jual beli baju di atas, jika ternyata harga
kontrak 100 tadi diperoleh melalui suatu proses lelang yang fair mulai dari penyusunan Harga Perkiraan
Sendiri (HPS), evaluasi oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) / Pejabat Pengadaan
sampai kepada penetapan pemenang tanpa ada sedikit pun rekayasa oleh para pihak
terkait pelaksanaan PBJ maka selisih 30 dari harga pasar 70 adalah bukan merupakan
suatu kejadian yang mengakibatkan adanya kemahalan harga.
Penyebab Selisih Harga
Berdasarkan bahasan dengan rekan APIP, APH dan para pihak yang terkait
langsung dengan kegiatan pengadaan bahwa terdapat dua kejadian yang
memungkinkan selisih harga kontrak yang lebih tinggi daripada harga pasar dapat
menjadi suatu kemahalan harga yaitu (1) jika pelaksanaan prosedur pengadaan/lelang
menyimpang dari ketentuan yang berlaku sehingga mengakibatkan harga kontrak
menjadi tidak kompetitif/wajar; dan (2) jika ternyata diketahui bahwa terdapat
aliran cash-back dari penyedia barang/jasa kepada
pengguna barang/jasa.
Satu kasus nyata yang boleh/bisa dijadikan “contoh soal” karena telah inkracht (memiliki kekuatan hukum tetap,
terakhir permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung pada 2004 dengan
vonis pidana penjara sekian tahun, denda sekian ratus juta rupiah dan uang
pengganti sekian milyar) adalah kasus Ir. Abdullah Puteh, M. Si., Gubernur Aceh
(Nanggroe Aceh Darussalam) periode 2000 – 2004 dalam kasus pengadaan
helikopter.
Kasus ini merupakan salah satu (satu-satunya?) kejadian kemahalan harga
yang (dapat/telah) divonis bersalah. Tiga penyimpangan sekaligus berhasil
dibuktikan di persidangan saat itu yang semuanya bermuara pada kejadian
kemahalan harga yaitu (1) spesifikasi barang tidak sesuai kontrak; (2) prosedur
pengadaan melanggar ketentuan berlaku; dan (3) ditemukan adanya aliran kas
antara sang gubernur dan kontraktor pelaksana. Karena penyimpangan ini dapat
dibuktikan dalam persidangan maka mulai dari tingkat Pengadilan Negeri sampai
kepada kasasi di MA semuanya memberikan vonis bersalah kepada Abdullah Puteh.
Jadi, harga yang mahal belum tentu–serta merta–akan menjadi suatu
kemahalan harga. Dalam melakukan kegiatan pengadaan, selain pedoman PBJ sebagai
acuan utama, aturan lain yang berlaku dan dapat diterima umum kadang juga harus
turut dipertimbangkan sebelum membuat suatu keputusan. Ketentuan jasa
konstruksi, hukum perikatan, atau mungkin hukum dagang seperti pada contoh
kejadian di atas adalah sedikit dari sekian banyak rambu yang mungkin dapat
dijadikan petunjuk arah bagi pihak terkait kegiatan pengadaan, agar dapat
selamat sampai ke tujuan. Semoga bermanfaat.
-----------------end.
Referensi : Diskusi Warung Kopi Pemda
Edit & Post : Rulianto Sjahputra, Kemahalan harga, Sebuah
Dosa Atau Tren Budaya?.
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter