Perubahan jenjang nilai pengadaan untuk beberapa jenis pengadaan tersebut akan mampu mempercepat proses penyerapan belanja barang/modal.
|
Perpres Nomor 70 Tahun 2012 |
Di akhir bulan Juli 2012, Pemerintah telah mengeluarkan perubahan kedua
atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yaitu dengan ditetapkannya Perpres Nomor 70
Tahun 2012. Terbitnya perubahan kedua Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pengadaan B/J Pemerintah tersebut sebagai respon pemerintah atas hasil
evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah sendiri terhadap pelaksanaan Perpres
Nomor 54 Tahun 2010. Hasil evaluasi menyimpulkan bahwa implementasi pengadaan
barang dan jasa pemerintah masih menemui banyak kendala yang diindikasikan dari
masih rendahnya penyerapan belanja barang dan belanja modal pada instansi
pemerintah pusat maupun daerah.
Perbedaan signifikan Dari Perpres Sebelumnya
Dalam Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tersebut sangat banyak perubahan
signifikan yang telah dilakukan oleh pemerintah agar dapat mempercepat proses
penyerapan belanja barang dan belanja modal pada pemerintah pusat maupun
daerah. Perubahan yang dilakukan lebih ditekankan kepada upaya untuk
memperlancar pelaksanaan anggaran dan menghilangkan multitafsir yang
menimbulkan ketidakjelasan bagi para pelaku dalam proses pengadaan barang dan
jasa pemerintah.
Salah satu perubahan yang signifikan dan dianggap
mampu memberikan solusi bagi kendala yang dihadapi oleh K/L/D/I adalah dengan
diberikannya kelonggaran persyaratan keharusan memiliki sertifikat keahlian
pengadaan barang dan jasa bagi Pejabat Pembuat Komitmen yang dijabat oleh PA
dan KPA, termasuk Kepala ULP. Meskipun hal itu dapat memberikan solusi bagi
K/L/D/I yang kebanyakan masih minim pegawai bersertifikasi keahlian pengadaan
barang dan jasa, namun pemberian kelonggaran tersebut menimbulkan kekhawatiran
lainnya, yaitu apakah dapat menjamin bahwa seorang PA atau KPA yang tanpa
memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang dan jasa akan mampu melaksanakan
tugasnya sebagai PPK, semisal menyusun HPS dan rancangan kontrak? Seperti kita
ketahui, di era otonomi daerah, pengangkatan seseorang ke dalam suatu jabatan
struktural banyak yang tidak didasarkan pada kompetensi keahlian manajerial dan
kompetensi khusus seperti keahlian dalam hal pengadaan barang dan jasa.
Jadi,
jika seorang PA atau KPA tidak mampu melaksanakan tugas dan kewenangan sebagai
seorang PPK apakah hal tersebut justru akan menghambat proses pengadaan barang
dan jasa itu sendiri? Selain itu, jika seluruh beban pekerjaan pengadaan harus ditanggung
oleh PA atau KPA seorang diri, semisal pekerjaan konstruksi di Dinas Pekerjaan
Umum, apakah hal tersebut justru akan menghambat proses pengadaan barang dan
jasa? Menurut kami, persyaratan memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang
dan jasa (dalam pengertian bukan sekedar memiliki sertifikat, tetapi
benar-benar memiliki keahlian dalam proses pengadaan barang dan jasa) merupakan
keharusan mutlak. Apakah sertifikasi pengadaan barang dan jasa yang telah
diselenggarakan oleh LKPP menjamin bahwa seseorang akan ahli dalam menangani
proses pengadaan barang dan jasa? Seharusnya demikian ya. Apabila masih belum,
maka harus dilakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan sertifikasi keahlian
pengadaan barang dan jasa yang telah berjalan selama ini.
|
Gambar Ilustrasi |
Pembaca yang budiman…..
Perubahan lainnya dalam Perpres Nomor 70 tahun 2012
adalah ditingkatkannya jenjang nilai pengadaan langsung untuk pemilihan
penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan seleksi sederhana dari
“hingga Rp100 juta” menjadi “hingga Rp200 juta”. Juga dilakukan perubahan
jenjang nilai pelelangan sederhana untuk pemilihan penyedia barang/jasa lainnya
dan pemilihan langsung untuk pemilihan penyedia pekerjaan jasa konstruksi dari
“paling tinggi Rp200 juta” menjadi “paling tinggi Rp 5 milyar”. Perubahan
jenjang nilai pengadaan untuk beberapa jenis pengadaan tersebut akan mampu
mempercepat proses penyerapan belanja barang/modal.
Nah, masalahnya apakah betul akan demikian?
Sebenarnya hal itu dapat menstimulus percepatan penyerapan belanja barang dan
belanja modal. Sebagai contoh, untuk pengadaan langsung kebutuhan operasional
K/L/D/I seperti ATK yang dianggarkan hingga Rp200 juta tidak perlu melakukannya
dengan pelelangan umum, tetapi dapat langsung membeli ke toko ATK. Akan tetapi
permasalahannya apakah dengan dinaikannya jenjang nilai pengadaan tersebut
serta merta K/L/D/I akan menguras uangnya hingga habis untuk membeli ATK
melalui pengadaan langsung? Tidak kan? Semestinya K/L/D/I membelanjakan uangnya
sesuai kebutuhan akan penggunaan ATK selama setahun.
|
Petunjuk Teknis Perpres Nomor 70 Tahun 2012 |
Mempercepat Penyerapan Anggaran
Apa sih sebenarnya yang menghambat penyerapan anggaran belanja barang
dan belanja modal, khususnya di pemerintah daerah? Apakah disebabkan hanya oleh
hal-hal sebagaimana telah diterangkan di atas?
Banyak faktor lainnya yang menyebabkan rendahnya
penyerapan anggaran belanja barang/modal tersebut. Semisal banyak pelaksanaan
pekerjaan perencanaan/desain untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan pada
tahun berjalan. Jika terjadi keterlambatan penyelesaian dan penyerahan hasil
pekerjaan perencanaan, maka sudah pasti hal tersebut akan menghambat proses
pengadaan pekerjaan konstruksinya atau jadwal pengadaan pekerjaan konstruksi
menjadi mundur. Apalagi kemudian jika terjadi pelelangan/tender ulang, baik
untuk pekerjaan jasa konsultansi maupun pekerjaan konstruksi, maka tentu hal
tersebut akan menghambat proses penyelesaian pekerjaan fisik yang pada akhirnya
memperlambat proses pembayaran pekerjaan itu sendiri. Lebih-lebih kalau sampai
terhenti di akhir tahun anggaran dan terpaksa diluncurkan di tahun anggaran beikutnya.
Jelas saja penyerapan anggaran belanja barang/modal terkait dengan pengadaan
barang/jasa tersebut akan sangat rendah bahkan nihil.
Oleh karenanya, PA/KPA harus menyusun rencana umum
pengadaan secermat mungkin (lihat pasal 22 dan pasal 23 Perpres Nomor 70 Tahun
2012). Rencana umum pengadaan untuk tahun berikutnya harus dilakukan pada tahun
berjalan. Substansi rencana umum pengadaan meliputi identifikasi kebutuhan
barang/jasa yang dibutuhkan oleh SKPD dan rencana penganggarannya yaitu apakah
akan didanai sendiri oleh SKPD atau merupakan dibiayai secara bersama (cofinancing). Selain itu, PA/KPA menetapkan kebijakan
pemaketan pekerjaan dan cara pelaksanaan pengadaan barang/jasa (secara
swakelola atau melalui penyedia barang dan jasa), pengorganisasian pengadaan
barang dan jasa, dan menetapkan ketentuan penggunaan produksi dalam negeri.
Yang lebih penting lagi adalah bahwa PA/KPA harus menyusun Kerangka Acuan Kerja
(KAK). Berdasarkan KAK tersebut, PA/KPA harus membuat time table dari seluruh paket pekerjaan yang
telah ditetapkan. Pembuatan time table ini
lah yang sering kurang diperhatikan oleh para PPK terutama yang memegang lebih
dari satu kegiatan/paket pekerjaan. Penjadwalan rencana pelaksanaan
kegiatan/paket pekerjaan tersebut sangat penting artinya bagi PA/KPA, yaitu
sebagai alat pengendalian dan monitoring bagi PA/KPA atas kinerja PPK.
Apa masalah lainnya? Faktor lainnya, barangkali
adalah masalah beban kerja. Yaitu bagaimana membagi seluruh beban kerja
khususnya terkait dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa di SKPD tersebut
kepada pegawai yang memenuhi syarat sebagai PPK. PA/KPA harus mempertimbangkan
banyak faktor seperti tingkat kesulitan teknis pekerjaan, risiko yang mungkin
dihadapi dalam melaksanakan suatu paket pekerjaan, dan kemampuan teknis dan
manajerial masing-masing PPK yang akan ditunjuk menangani suatu paket
pekerjaan. Membagi beban kerja atau paket pekerjaan kepada PPK secara seimbang
bukan dengan dengan cara membagi rata, tetapi dengan mempertimbangkan ketiga
hal tadi.
Demikian juga faktor beban kerja yang harus dipikul
oleh Kelompok Kerja ULP. Bisa saja masalah beban kerja yang mesti dibagi kepada
PPK telah tertangani dengan baik, namun jika Kelompok Kerja ULP tidak mampu
menangani seluruh kegiatan/paket pekerjaan maka sudah tentu akan menghambat
pelaksanaan proses pengadaan barang dan jasa yang sudah direncanakan dengan
matang oleh PA/KPA. Akan terjadi antrian panjang di ULP. Apalagi ULP hanya
dibentuk di tingkat pemerintah daerah dan harus menangani paket pekerjaan di
seluruh SKPD di lingkungan pemerintah daerah itu. Oleh karenanya, jumlah
Kelompok Kerja ULP harus cukup memadai dan terdiri dari orang-orang yang telah
memiliki sertifikasi keahlian barang dan jasa, meskipun dalam pengadaan
barang/jasa yang bersifat khusus dapat dibantu oleh tim atau tenaga ahli
pemberi penjelasan teknis.
Galeri Gambar Perbedaan Perpres
No. 70/2012 Dengan Perpres No. 54/2010
|
Perbedaan Perpres No. 70/2012 dengan Perpres No. 54/2010 |
|
Perbedaan Perpres No. 70/2012 dengan Perpres No. 54/2010 |
|
Perbedaan Perpres No. 70/2012 dengan Perpres No. 54/2010 |
Semoga dapat memberikan manfaat untuk anda pembaca yang budiman.
-------------------end.
Referensi : Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres Nomor 54 Tahun 2010 (Sebagai bahan komfaratif)
Kontributor : Diskusi Warung Kopi Pemda
Edit & Post : Rulianto Sjahputra, Cara Mempercepat Penyerapan Belanja Barang Dan Belanja Modal Pemerintah
Melalui Perpres Nomor 70 Tahun 2012
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter