Pages

Senin, 14 April 2014

Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter Two)


Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter Two)
Loyalitas

Sebelum menyimak artikel ini, sebaiknya anda dapat membaca artikel sebelumnya yaitu di judul Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter One) guna keutuhan pembahasan artikel secara keseluruhan. Terima kasih atas kunjungannya (Rulianto Sjahputra). 

Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada

Adanya pemerintahan adalah atas kehendak rakyat/masyarakat dimana pemerintahan tersebut (akan) di/terbentuk”. Dengan kata lain, masyarakatlah yang berhak menilai dan menentukan perlu atau tidaknya dibentuknya suatu pemerintahan yang dapat mengatur secara adil dan proporsional terhadap berbagai kebutuhan hidup kolektif yang mereka perlukan.

Politik Balas Budi

Mereka bisa menerimanya sebagai bentuk “komitmen/kontrak” tidak tertulis dalam mekanisme politik lokal yang berjalan. Rasionya bagi mereka adalah wajar, siapa yang mendukung bahkan berkorban buat kandidat yang menang saat proses pencalonan berlangsung, maka dia (otomatis) akan mendapatkan porsi perlakuan istimewa dari kandidat pemenang saat ia menjabat.

Politik balas budi dalam Pilkada adalah sebuah fenomena biasa dalam percaturan politik di Indonesia. Hal ini sebenarnya tidak hanya berlaku dalam pilkada tetapi juga dalam pemilihan presiden yang dipraktekkan dalam bagi2 kursi di parlemen. Jadi politik balas budi adalah hal yang lumrah pada masyarakat di Indonesia bahkan sudah bagian dari budaya politik saat ini. Kenapa saya bilang sudah membudaya di Indonesia?. Fenomena ini ternyata bukan hanya berlaku di kancah perpolitikan pada top elite birokrasi saja. Dalam kompetisi pemilihan kepala desa (kades) diseantero nusantara-pun, politik balas budi mutlak diterapkan oleh kandidat kades yang menang dalam menyusun personalia pada kantor kades yang akan dipimpinnya sekaligus melengserkan pejabat atau pegawai lama yang ada.

Adalah suatu hal yang biasa bagi pegawai kantor desa bila mereka dilengserkan karena mereka menyadari sepenuhnya bila hal tersebut merupakan konsekuensi budaya politik yang berlaku dalam mekanisme pemilihan kades. Begitupun dengan para pendukung dan masyarakat di lingkungan desa setempat, hal tersebut bukanlah hal yang istimewa. Mereka bisa menerimanya sebagai bentuk “komitmen/kontrak” tidak tertulis dalam mekanisme politik lokal yang berjalan. Rasionya bagi mereka adalah wajar, siapa yang mendukung bahkan berkorban buat kandidat yang menang saat proses pencalonan berlangsung, maka dia (otomatis) akan mendapatkan porsi perlakuan istimewa dari kandidat pemenang saat ia menjabat. Alasan lainnya lebih kepada soliditas yang nantinya akan terbentuk dalam struktur yang akan dipimpinnya sehingga personil dalam team work-nya diambil dari orang2 terdekat dan yang berjasa baginya. Makanya dengan tingkat pemahaman dan kearifan tersebut, hampir tidak diketemukan gejolak sosial atau gejolak antar pendukung pasca pemilihan kades yang terjadi di Indonesia. Bilapun ada hanya berkisar pada ketidakpuasan terhadap teknis pemilihan yang dilakukan.

Loh Kok Bisa?

Berkaca pada penjelasan di atas, patut dipertanyakan “Loh kok bisa sampai terjadinya gejolak internal dalam struktur organisasi pemda pasca pilkada yang dilangsungkan?”. Dimana letak kesalahannya sehingga kondisi tersebut bisa terjadi?. Bukankah efeknya akan berimbas kepada soliditas kerja pemda sehingga tidak dapat bekerja secara optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat?. Bagaimana mungkin walikota dan wakilnya dapat menjalankan program2 kegiatannya dengan baik dan terarah bila kondisi komposisi pegawai dan struktur organisasinya tidak solid?. Bagaimana mereka akan berkoordinasi dengan stakeholder lainnya bila koordinasi internal saja tidak beres?. Bagaimana mau mensinergikan berbagai program dan kegiatannya bila terjadi pengembosan secara internal?. Dan terakhir, bagaimana mungkin bisa walikota dan  wakilnya dapat memanage potensi2 yang ada dan yang dimilikinya?. Bisa dipastikan bagi struktur organisasi seperti ini tidak akan memberikan konstribusi prestasi kinerja apapun. Dan bila hal ini tidak segera diantisipasi, maka masyarakat-lah yang akan sangat dirugikan.

Solusinya

Tujuan mulia dari majunya para kandidat peserta pilkada adalah untuk memberikan sumbangsih nyata melalui program dan kebijakan publik yang dapat memberikan konstribusi signifikan pada pembangunan sektor publik dan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan mulia ini tidaklah main2 mengingat untuk merealisasikannya menggunakan amanah uang rakyat. Sehingga kepala daerah yang terpilih wajib dapat memanage segala sumber daya yang diamanahkan kepadanya secara serius, hati2 dan bijaksana. Karena konsekwensi pertanggungjawabannya tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga secara legalitas hukum melalui mekanisme proseduril dalam pelaksanaan program dan kegiatan yang dilakukan dan kesesuaian dengan mekanisme proseduril terhadap penggunaan anggara. Belum lagi yang terberat yaitu tanggung jawab sebagai pemimpin yang nantinya akan disidang dihadapan Sang Maha Pemimpin Allah Subhana Wa Ta’ala.

Melihat kapasitas kinerja yang akan dihasilkan adalah amanah rakyat dan sepenuhnya ditujukan untuk kepentingan publik, maka kepala daerah yang terpilih harus dapat mampu memanage sumber daya aparatur yang dipimpinnya. Satu hal yang perlu diingat oleh kepala daerah dan aparatur sipil bahwa dalam teori pemerintahan klasik telah disebutkan, “adanya pemerintahan adalah atas kehendak rakyat/masyarakat dimana pemerintahan tersebut (akan) di/terbentuk”. Dengan kata lain, masyarakatlah yang berhak menilai dan menentukan perlu atau tidaknya dibentuknya suatu pemerintahan yang dapat mengatur secara adil dan proporsional terhadap berbagai kebutuhan hidup kolektif yang mereka perlukan”. Untuk kepentingan ini masyarakat rela mengeluarkan biaya melalui pajak dan kewajiban2 kolektif lainnya agar dapat membiayai suatu organisasi yang dinamakan pemerintah, termasuk didalamnya memperkerjakan orang2 yang dianggap mampu dari aparatur sipil negara yang akan mempersiapkan dengan baik kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan secara kolektif. Dan untuk memanage organisasi publik dan (pekerja) sumber daya aparaturnya secara baik dan terarah, maka rakyat/masyarakat memilih pemimpin bagi struktur yang mereka bentuk tersebut melalui mekanisme pilkada yang dilakukan. Sekali lagi guna kepentingan rakyat/masyarakat. Rakyat/masyarakat-lah yang menjadi “owner” pemerintah(an).

Menetapkan Komposisi Personil Pemda Adalah Hak dan Kewajiban Kepala Daerah

Dengan pemahaman seperti diuraikan di atas, maka seyogyanya kepala daerah harus menyadari bahwa berbagai visi, misi, program, dan kegiatan yang akan dijalankannya tidak akan bisa terlaksana tanpa adanya dukungan dari sumber daya aparatur yang solid dan memiliki kapabilitas sebagai pelayan publik. 

Solid dalam artian mereka memahami bahwa beban kerja dan output kinerja yang mereka hasilkan tidaklah dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan komando dari visi, misi, sasaran, dan tujuan dari berbagai agenda program dan kegiatan yang berasal dari instruksi pimpinan yaitu kepala daerah. Tinggal mereka memilahnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya secara spesifik sesuai kekhususan dalam unit kerjanya masing-masing. Sementara kapabilitas sebagai pelayan publik adalah sejauh mana kemampuan dari personil aparatur maupun unit kerja pemda dapat mampu menterjemahkan berbagai tuntutan tugas, fungsi dan peranan yang diberikan sebagaimana dimaksud di atas, dapat seefisien dan seefektif mungkin memberikan hasil output kinerja yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat. Dari uraian di atas sangat jelas diperlukan kemampuan personil aparatur yang dapat mensingkronkan berbagai arah kebijakan, sasaran dan tujuan dari berbagai agenda program dan kegiatan unit kerjanya yang dapat selaras antara visi-misi dan kebijakan umum yang telah ditetapkan kepala daerah dengan kebutuhan nyata masyarakat.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka kepala daerah terpilih harus memiliki kemampuan dalam memilah dan memilih personil aparaturnya yang dapat bekerjasama secara loyal dan proporsional sesuai dengan tuntutan kerja yang diharapkannya. Penempatan personil aparatur khususnya pejabat publik yang dilakukan oleh kepala daerah terpilih tidak serta merta didasari pertimbangan balas budi semata, tetapi pertimbangan kapabilitas dan profesionalitas kerja yang juga dimiliki personil yang bersangkutan dalam menterjemahkan kebijakan pimpinan yang sejalan dengan kepentingan publik. Berbicara tentang kapabilitas dan profesionalitas kerja personil, maka peran dari track record terhadap pengalaman kerja menjadi sangat penting untuk menjadi bahan pertimbangan pimpinan.

Bilamana penempatan pejabat publik yang dilakukan kepala daerah terpilih hanya didasarkan pada faktor kedekatan dan balas budi semata, maka bisa dipastikan berbagai program dan kegiatan serta visi dan misi dari kepala daerah tersebut tidak akan berjalan sesuai dengan harapan.

Hak dan kewajiban pimpinan daerah adalah mutlak untuk menyusun personil terbaik yang dapat bekerjasama secara team work dalam organisasi yang dipimpinnya. Sehingga organisasi pemda dapat terkendali, terarah dan tepat sasaran sebagaimana yang diinginkan oleh pimpinan daerah yang bersangkutan dalam menjalankan amanah pelayan publik bagi masyarakat yang memilihnya selama masa bhaktinya sebagai kepala daerah. Untuk itu diperlukan ketegasan dari kepala daerah yang bersangkutan untuk menseleksi dan mengevaluasi sumber daya aparaturnya secara arif dan bijaksana. Bilamana ditemui ada personilnya yang tidak loyal terhadap tuntutan tugas serta tidak dapat sejalan dengan kebijakan umum dan instruksi pimpinan, maka sudah selayaknya personil yang bersangkutan dapat dipertimbangkan untuk dimutasi atau di rotasi khususnya dari jabatan2 vital. Pertimbangan stabilitas jalannya roda pemerintahan menjadi pertimbangan penting dalam bersikap tegas merasionalisasi struktur organisasi dan personil yang akan dilakukan. Kalau pertimbangannya sudah jelas sesuai dengan proseduril dan sesuai dengan kewenangan kepala daerah selaku pimpinan, seharusnya tidak perlu dikhawatirkan aksi segelintir pegawai pemerintah yang di mutasi dan kemudian naik banding ke PTUN, prosedur banding ini adalah hak mereka selaku pegawai pemerintah selebihnya menyerahkannya pada proses hukum yang harus dihormati hasilnya. Yang pasti memang tidak juga dibenarkan untuk mencopot seorang pegawai karir tanpa alasan yang jelas dan tanpa didasari dengan pertimbangan output kinerja dan loyalitas terhadap kerja yang dilakukan dan dihasilkannya. Selebihnya, bilamana ada personil yang untuk kemudian menyikapi mutasi yang dialaminya dengan membuat aksi yang tidak kondusif bagi organisasi maka pimpinan berhak untuk mencopotnya demi kemaslahatan organisasi.

Jadi tidak ada alasan terjadinya gejolak dalam tubuh internal pemda pasca pilkada. Semoga bermanfaat.
Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter Two), Original post by Rulianto Sjahputra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar