|
Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter One) |
Romantika Kehidupan PNS Pemda
Dalam kesempatan makan siang
dengan beberapa orang kawan lama dari pegawai Pemerintah Daerah (Pemda) di
salah satu Kota sekitar Jakarta pada saat jam istirahat kerja, pembicaraan singkat kami
lebih didominasi dengan topik sekitar dunia kerja mereka. Sebenarnya saya lebih
tertarik membahas tentang nostalgia lama dengan kawan-kawan tersebut. Tetapi
dikarenakan topik pembicaraan tersebut sepertinya dilontarkan seorang kawan
dengan sedikit kesal yang ternyata diamini oleh rekan yang lain, makanya
menjadi sedikit menarik buat saya untuk ikut nimbrung dalam topik tersebut. Emosi gitu loh,...
Kawan saya ini mengeluhkan
kondisi lingkungan kantornya yang semakin hari semakin terasa tidak kompak baik
diantara level pimpinan maupun rekan sejawat pasca selesainya Pilkada yang baru
hitungan bulan dilaksanakan di daerahnya. Sama, ditempat saya juga begitu, kata
teman saya pegawai Pemda yang satunya lagi sambil menyerumput kopi hitam di
depannya. Padahal dulu-dulu habis Pilkada gak kayak begini lanjutnya..... Loh
kok bisa?, jawab saya menimpali. Gak
kompak kayak apa maksudnya?.
Kondisi kantor jadi tidak
kondusif karena banyak pejabat yang dimutasi dan dilengserkan dari jabatan
strategisnya oleh Walikota terpilih dan mereka tidak terima dimutasi lalu mereka maju ke
pengadilan “PTUN” menggugat keputusan walikota yang telah memutasi mereka. Ya
biarkan aja mereka maju ke PTUN, kan hak mereka, saya kembali menimpali. Masalahnya
mereka ini ngadat beraktifitas sesuai dengan job mereka sehingga mempersulit
kita-kita dalam berkoordinasi dalam urusan kerjaan. Udah gitu pakai ada yang
ngasut dan ngebentuk kelompok-kelompok sakit hati di kantor. Teman lain yang
tadinya Cuma ngedengerin mulai angkat bicara, “para –Barisan Sakit Hati - di Pemda bikin gejolak di kantornya masing2
karna gak terima di pindah dari posisinya yang basah”. .... Sekali lagi saya
menimpali, “Loh kok bisa?, gimana
mau ngelayani masyarakat kalau mental pejabatnya pada seperti itu?. Kan jabatan
amanah, dan kebijakan milik atawa hak pimpinan yang menilai, mana saja pegawai yang dianggap berpotensi setelah
melakukan evaluasi tentunya, serta ditambah lagi predikat yang loyal sama sang pimpinan. Bukan begitu
bang, masalahnya yang diangkat ngisi jabatan2 strategis itu waktu Pilkada pro
sama walikota terpilih. Balas budilah, sementra yang kontra lawan walikota
sekarang disingkirin. .... Loh kok bisa?
(sudah tiga kali saya ucapkan kata2 ini), kan untuk kondusifitas saat pilkada harusnya PNS pemda harus
netral, minimal dalam
lingkungan kerja mereka?.
Lagipula jabatan walikota dan wakilnya adalah jabatan publik, dan bukan jabatan karir, apa
urusannya sama pegawai pemda?.
Teman pemda saya ini kembali
menjelaskan, bahwa saat proses pilkada berlangsung sudah terjadi kelompok2 antara
yang pro dan yang kontra pada calon kandidat di lingkungan Pemda. Kondisi ini
terjadi mengingat salah satu calon kandidat walikota adalah saudara kandung walikota yang
sedang menjabat saat itu. Sementara kandidat calon walikota yang lainnya
berasal dari pejabat karir
tertinggi di pemda setempat, dan kandidat satunya lagi dari pejabat
wakil walikota saat itu. Seru kan jadinya .....
Salahnya, sejak awal para pendukung
dari adik walikota di kantor walikota sudah sesumbar rada arogan dan nepuk dada memproklamirkan
diri kalau
mereka adalah pendukung saudara
kandung walikota sekaligus mempropokasi yang kontra biar gak
macem2. Biasa lah cari muka sama walikota, samber tetangga saya yang duduk
disebelah. Apalagi waktu itu ada kejadian dimana sebagian pejabat dilengser
sama walikota (saat itu) karena pro sama kandidat lain. Oh, jadi walikotanya
ikutan nyuruh dukung saudaranya ke para
pegawainya?, guman saya dalam hati mulai mengerti akar permasalahannya. Jadi
inget politik dinasti raja2 kecil yang baru tumbang di daerah sebelah.
Makanan yang kami pesan datang,
obrolan kami tentang polemik
terjadinya gejolak internal dalam birokrasi lokal berhenti dengan sendirinya.
Sambelnya manaaa....?.
Quot chapter two :
“Mereka bisa menerimanya
sebagai bentuk “komitmen/kontrak” tidak tertulis dalam
mekanisme politik lokal yang berjalan. Rasionya bagi mereka adalah
wajar, siapa yang mendukung bahkan berkorban buat kandidat yang menang, maka
dia akan mendapatkan porsi perlakuan istimewa dari kandidat pemenang saat
ia menjabat”.
Ada
Ubi ada Talas
Pasca Pilkada
(Chapter One),
original post by Rulianto Sjahputra.
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter