|
Lakon Cerita Untuk Petinggi Negeriku |
Ditengah tengah hiruk pikuk berita
upaya koalisi capres-cawapres pasca pemilu legislatif 2014 di negeri kita ini
yang menelan biaya sangat fantastis, terbersit dalam pikiran saya tentang
tenggelamnya berita di media menyangkut topik pemberantasan korupsi. Kenapa
saya malah menerawang ke masalah pemberantasan korupsi?. Bagaimana tidak
saudaraku sebangsa, pemilu legislatif yang dibiayai oleh uang rakyat ini akan
menempatkan wakil-wakil kita di parlemen yang nantinya akan mewakili suara kita
dalam membuat kebijakan yang “katanya” untuk kepentingan kita bersama. Padahah,
belum lama berselang tajuk berita dimedia sempat gencar menyoroti para petinggi
negeri ini termasuk para legislator kita yang berniat akan merevisi “KUHAP”
yang selama ini menjadi salah satu rujukan para penggiat pemberantasan korupsi khususnya
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dapat melakukan penyidikan kasus2 korupsi di
tanah air secara maksimal.
Para petinggi negeri tersebut
termasuk para anggota parlemen (anggota dewan) disinyalir banyak kalangan akan
melemahkan peran aktif lembaga pemberantasan korupsi dalam mengungkap kasus2
korupsi yang ada. Sementara di sisi lain kita semua sudah sama memahami akan
begitu banyaknya para pejabat negara dan anggota parlemen pada periode yang
baru lalu tersangkut kasus korupsi. Apakah anggota parlemen yang baru kita
pilih pada pemilu legislatif 2014 kemarin dengan menggunakan uang rakyat
tersebut ternyata akan mengulang prestasi senior2nya yang korupsi saat mereka
menjabat.
Setidaknya negara ini masih dapat
berbangga terhadap beberapa figur pejabat publik yang dikenal amanah dalam
jabatannya selain “kebanggaan” sebagai negara yang memiliki kasus korupsi yang jumlahnya
signifikan diantara negara2 dunia berkembang lainnya.
Belajar dari Negara lain
Tiga
puluh tahun yang lalu, Hongkong masih menjadi wilayah paling gelap.
Di jalanan, beberapa pria berseragam Polisi memeras warganya sendiri. Pembunuh
yang tertangkap-tangan bisa berdamai dengan setumpuk
uang. Suatu pagi, seorang mahasiwa, namanya Bong, tiba-tiba ditangkap,
digantung terbalik dan dipukuli hingga lebam. Ia dipaksa mengaku sebagai
pembunuh. Rekayasa hukum dilakukan demi uang. Di tempat lain, peredaran
narkotik dilindungi polisi. 90% polisi Hongkong diyakini korup saat itu.
Dalam cerita ini, tersebutlah
Inspektur Lack, seorang yang sangat sulit dibedakan apakah ia adalah Kepala
Polisi atau bos mafia. Kisah ini adalah petikan dari film I
Corrupt All Cops yang
disutradarai oleh Wong Jing. Sebuah cerita proses pembentukan Independen
Commision Against Corruption (ICAC) dalam media film. Dengan durasi 107 menit
ini ditayangkan pertama kali 30 April 2009 di bioskop Hongkong.
Beberapa
waktu yang lalu, Tony Kwok dan Bertrand de Speville mantan Komisioner ICAC
mendatangi Indonesia, berdiskusi dari satu tempat ke tempat lainnya. Sejarah
pemberantasan korupsi di Hongkong agaknya memang dapat menjadi pelajaran
berharga bagi Indonesia. Jika dulu di Hongkong istilah black money, tea money, bahkan hell money nyaris
menjadi keseharian, sekarang Hongkong diakui sebagai salah satu negara yang
relatif bersih dari korupsi.
ICAC
atau KPK Hongkong dibentuk pada Februari 1974 sebagai antitesa dari kondisi
korupsi yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di sana. Semua berawal
dari kasus seorang Jenderal Polisi, Peter Fitzroy Gobder terkait kepemilikan
aset HK$ 4,3 juta. Saat itu, setelah terjadi gejolak di masyarakat, akhirnya
Sir Alastair Blair-Kerr, seorang Haim Senior Puisne ditunjuk untuk memimpin
Komisi Penyelidikan pelarian Gobder. Ia menyiapkan dua laporan dan penegasan,
jika pemerintah serius, kantor anti korupsi harus dipisahkan dari Kepolisian.
Kemudian ICAC dibentuk, Jenderal Polisi ditangkap, kekayaannya dirampas, dan
Hongkong memulai sebuah revolusi senyap.
Berebut Kasus
Belum lama, di Indonesia, seorang
Jenderal Polisi bintang dua ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Dan,
resistensi menyeruak ketika KPK melakukan penggeledahan di gedung Korps Lalu
Lintas (Korlantas) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, MT. Haryono
(31/07). Pimpinan dan Penyidik KPK tertahan lebih dari 24
jam, beberapa anggota Polri saat itu menolak barang bukti hasil penggeledahan
dibawa KPK.
Kendala
yang dihadapi KPK dalam mengusut kasus pengadaan driving Simulator roda dua
(R2) dan Roda empat (R4) ini belum selesai. Dua hari kemudian, Polri kembali
menegaskan akan tetap melakukan Penyidikan terhadap kasus ini, meskipun KPK
juga sudah melakukan Penyidikan. Disebutkan surat perintah penyelidikan sudah
terbit 21 Mei 2012. Polri sudah memeriksa sejumlah pihak. Bahkan di bulan Juli
2012, sebuah surat permintaan dukungan penyelidikan dilayangkan ke kantor KPK.
Polri meminta data-data yang dimiliki oleh KPK terkait kasus tersebut.
Namun
KPK bergeming. Lembaga ini telah melakukan Penyelidikan sejak Januari 2012.
Dan, akhirnya 27 Juli 2012 surat perintah penyidikan terbit. Merespon itu,
Polri mengatakan, KPK telah melanggar MoU, karena tidak berkoordinasi terlebih
dahulu sebelum melakukan penggeledahan dan penyidikan kasus korupsi yang diduga
melibatkan Jendral bintang dua di kepolisian. Bahkan, mengklaim, sesuai dengan
MoU, karena Polri lebih lebih dahulu melakukan penyelidikan, maka Polri lah
yang berwenang. Benarkah? Tunggu dulu.
Memorandum
of Understanding (MoU) dengan penyebutan spesifik sebenarnya tidak pernah ada.
Yang ada adalah Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan, Kepolisian dan KPK
tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditandatangani
oleh Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua KPK pada 29 Maret 2012. Ada beberapa hal
menarik yang dapat dikupas dari Kesepakatan ini.
Pertama,
benarkah Polri yang berwenang menangani kasus yang diduga melibatkan
petingginya sendiri? Pasal 8 ayat (1) mengatur, untuk menghindari duplikasi
dalam penyelidikan, maka instansi yang berwenang melakukan penyelidikan adalah
institusi yang pertama kali melakukan penyelidikan. Jika keterangan Kabareskrim
Mabes Polri dibandingkan dengan keterangan Pimpinan KPK, terlihat penyelidikan
pertama kali dalam kasus ini dilakukan oleh KPK, yakni pada 20 Januari 2012.
Sedangkan Polri baru melakukan penyelidikan pada Mei 2012, itupun setelah
Majalah Tempo menerbitkan investigasinya Simsalabim Simulator SIM (29 April 2012).
Kedua,
bagaimana koordinasi antara penegak hukum jika salah satu pegawai dari tiga
lembaga ini terjerat korupsi? Pasal 13 mengatur, agar pihak yang melakukan
penyidikan memberitahukan kepada pimpinan lembaga yang pegawainya menjadi
tersangka dengan melampirkan Surat Perintah Penyidikan.
Dalam
konteks kasus driving simulator, kita paham, bahwa koordinasi yang dimaksud
adalah pemberitahuan pada pimpinan Polri bahwa anggotanya menjadi tersangka.
Pemberitahuan dilakukan setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan. Bukan
permintaan persetujuan. Jadi, logikanya tidak bisa dibalik, seolah-olah KPK
harus sowan terlebih dahulu pada Kapolri sebelum penetapan tersangka. Karena
ini justru sangat membahayakan bagi prinsip Independensi KPK.
Jadi,
benarkah KPK telah melanggar Kesepakatan Bersama tersebut, baik untuk penetapan
tersangka atau penggeledahan? Saya kira, tidak. Karena secara prinsip,
Penyidikan yang dilakukan oleh KPK tidak dapat dihentikan atau dipengaruhi oleh
institusi manapun, dan kewenangan penggeledahan tidaklah ditentukan oleh Kesepakatan
pihak manapun, karena hal ini berada dalam ranah hukum acara pidana yang tunduk
hanya pada Undang-undang dan putusan hakim.
Ketiga,
bagian yang menarik adalah, kapan Kesepakatan tersebut mulai berlaku? Apakah
mengikat pada kasus driving simulator yang sudah dilakukan penyelidikan sejak
Januari 2012 sementara Kesepatakan baru ditandatangani 29 Maret 2012? Tentu
kesepakatan ini tidak mungkin bisa berlaku surut. Jadi, dapatkan Pasal 8
dijadikan sandaran untuk memvonis KPK telah melanggar Kesepakatan? Saran saya,
baca lagi lebih rinci.
Tanggungjawab SBY
Selain itu, lebih dari tiga poin
diatas, kita tidak bisa dengan paradigma yang sempit menggunakan kesepakatan
untuk menuding pihak lain telah melanggar lantaran memproses kasus yang
melibatkan rekan sendiri. Jika dilihat dari asal-usulnya, Kesepakatan ini tidak
bisa dilepaskan dari Instruksi Presiden SBY No. 9 tahun 2011 tentang Rencana
Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2011. Dalam rencana aksi nomor 90,
pada bagian Penindakan tercantum, untuk meningkatkan koordinasi antara sejumlah
lembaga negara terkait, maka MoU antara Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan lembaga
lain harus diperharui dan disempurnakan. Jadi, wajar kiranya jika Presiden
tidak bisa lepas tangan dalam polemik ini.
Lebih
dari itu, semua hal yang diatur dalam Kesepakatan tersebut haruslah tidak
bertentangan dengan Undang-undang, termasuk UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK.
Di titik inilah, jika Polri masih memaksakan tetap melakukan Penyidikan, maka
ini bisa dipahami sebagai pembangkangan terhadap aturan hukum yang ada, dan
produknya cacat secara hukum.
Betapa
tidak, selain argumentasi bahwa KPK melanggar MoU juga masih bisa
diperdebatkan, Pasal 50 ayat (3) dan (4) UU KPK pun mengatur secara tegas dan
jelas. Bahwa, jika KPK telah melakukan Penyidikan terlebih dahulu, maka Polri
atau Kejaksaan tidak lagi berwenang. Dan kalaupun KPK, Polri dan Kejaksaan
melakukan Penyidikan secara bersamaan, maka Polri atau Kejaksaan wajib
menghentikan kasus tersebut segera. Perintah sejelas apalagi yang dibutuhkan?
Dari
sini, wajar rasanya masyarakat bertanya, ada apa gerangan Polri terlihat begitu
resisten, bahkan nyaris terkesan panik dengan penyidikan dan penggeledahan yang
dilakukan KPK? Ada apa gerangan, Polri terlihat begitu ngoyo untuk menangani kasus tersebut, bahkan
dengan melanggar aturan hukum yang ada? Saya teringat dengan sebuah iklan dalam
pertandingan sulap, Indonesia mendapat sambutan meriah dan bisa mengalahkan dua
negara besar yang menjadi saingannya. Jika dukunJepang bisa
menghilangkan gunung Fujiyama dengan sulapnya, jin Indonesia mengatakan: kasus
korupsi, hilang! wusssh. Koruptor bertepuk tangan.
Semoga
bukan demikian adanya. Meskipun, kami yang bekerja melawan lupa akan selalu
mengingat bagaimana tidak jelasnya perkembangan kasus rekening gendut sejumlah
perwira Polri ketika ditangani Polri tanpa keterlibatan KPK. Kasus Gayus yang
gagal menyentuh dua perwira yang disebutkan oleh mantan Kabareskrim Susno
Duadji, dan jauh sebelum hari ini, aliran dana Adrian Woworuntu dalam kasus
pembobolan BNI senilai Rp. 1,7 triliun, dan kasus alkom jarkom mabes Polri.
Kita
sungguh berharap, hal-hal yang buruk tidak lagi terjadi. Karena kejahatan yang
dilakukan oleh aparatur negara yang mempunyai kewenangan untuk memerangi
kejahatan sungguh merupakan sebuah kejahatan yang sempurna kebusukannya.
Apalagi jika ia diproteksi, seolah-olah tak ada pelaku, tak ada korban, tak ada
apa-apa. Atau, jikapun harus ada, maka tumbal-tumbal sudah disiapkan.
Kepolisian
harus diselamatkan untuk kepentingan bangsa ini. Korupsi di tubuhnya harus
diperangi. Dalam diam, saya teringat Alm. Jenderal Hoegeng, mantan Kapolri era
1968-1971 yang dikenal sangat jujur, menolak korupsi, melempar barang yang
diberikan cukung judi ke luar jendela dan memarahi bawahannya yang baru saja membeli
rumah dan kendaraan mewah. Memangnya
gaji polisi cukup untuk bermewah-mewah?, katanya. Ia mungkin
menangis dalam-dalam, tanpa air mata, melihat rumah yang dibangunnya nyaris
runtuh.
|
Berkaca pada Jenderal Hoegeng |
Semoga profil Jenderal Hoegeng menjadi salah satu
panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya bagi para politikus
yang baru saja kita pilih. Untuk kalian para wakilku di parlemen, dukung aktif kawan2 kita di KPK dalam bekerja secara maksimal. Bukankah kalian selalu menjanjikan negara ini akan bersih dari korupsi?. Bantulah dengan kerja amanah dan output kebijakan populis pro rakyat yang bersih dari korupsi ....
Jayalah Indonesia, jayalah negeriku. (Rulianto Sjahputra)
--------------------------------------------------------------------------------------
Referensi :
Febri Diansyah,
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Cerita Untuk Petinggi Negeriku, repost by Rulianto Sjahputra.
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter