|
Loyalitas |
Sebelum menyimak artikel ini,
sebaiknya anda dapat membaca artikel sebelumnya yaitu di judul Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter One) guna keutuhan pembahasan artikel secara keseluruhan.
Terima kasih atas kunjungannya (Rulianto Sjahputra).
Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada
Adanya pemerintahan adalah atas kehendak rakyat/masyarakat dimana pemerintahan tersebut (akan) di/terbentuk”. Dengan kata lain, masyarakatlah yang berhak menilai dan menentukan perlu atau tidaknya dibentuknya suatu pemerintahan yang dapat mengatur secara adil dan proporsional terhadap berbagai kebutuhan hidup kolektif yang mereka perlukan.
Politik Balas Budi
Mereka bisa menerimanya sebagai bentuk “komitmen/kontrak” tidak tertulis dalam mekanisme politik lokal yang berjalan. Rasionya bagi mereka adalah wajar, siapa yang mendukung bahkan berkorban buat kandidat yang menang saat proses pencalonan berlangsung, maka dia (otomatis) akan mendapatkan porsi perlakuan istimewa dari kandidat pemenang saat ia menjabat.
Politik balas budi dalam Pilkada adalah sebuah fenomena biasa
dalam percaturan politik di Indonesia. Hal ini sebenarnya tidak hanya berlaku
dalam pilkada tetapi juga dalam pemilihan presiden yang dipraktekkan dalam bagi2
kursi di parlemen. Jadi politik balas budi adalah hal yang lumrah pada
masyarakat di Indonesia bahkan sudah bagian dari budaya politik saat ini.
Kenapa saya bilang sudah membudaya di Indonesia?. Fenomena ini ternyata bukan
hanya berlaku di kancah perpolitikan pada top elite birokrasi saja. Dalam kompetisi
pemilihan kepala desa (kades) diseantero nusantara-pun, politik balas budi
mutlak diterapkan oleh kandidat kades yang menang dalam menyusun personalia
pada kantor kades yang akan dipimpinnya sekaligus melengserkan pejabat atau
pegawai lama yang ada.
Adalah suatu hal yang biasa bagi pegawai kantor desa bila
mereka dilengserkan karena mereka menyadari sepenuhnya bila hal
tersebut merupakan
konsekuensi budaya politik yang berlaku dalam mekanisme pemilihan kades.
Begitupun dengan para pendukung dan masyarakat di lingkungan desa setempat, hal
tersebut bukanlah hal yang istimewa. Mereka bisa menerimanya sebagai bentuk “komitmen/kontrak” tidak tertulis dalam mekanisme
politik lokal
yang berjalan. Rasionya bagi mereka adalah wajar, siapa yang mendukung bahkan
berkorban buat kandidat yang menang saat proses pencalonan berlangsung, maka dia (otomatis) akan mendapatkan porsi perlakuan
istimewa dari kandidat pemenang saat ia menjabat. Alasan lainnya lebih
kepada soliditas yang nantinya akan terbentuk dalam struktur yang akan
dipimpinnya sehingga personil dalam team work-nya diambil dari orang2
terdekat dan yang berjasa baginya. Makanya dengan tingkat pemahaman dan
kearifan tersebut, hampir tidak diketemukan gejolak sosial atau gejolak antar
pendukung pasca pemilihan kades yang terjadi di Indonesia. Bilapun ada hanya
berkisar pada ketidakpuasan terhadap teknis pemilihan yang dilakukan.
Loh Kok Bisa?
Berkaca pada penjelasan di atas,
patut dipertanyakan “Loh kok bisa
sampai terjadinya gejolak internal dalam struktur organisasi pemda pasca
pilkada yang dilangsungkan?”. Dimana letak kesalahannya sehingga kondisi
tersebut bisa terjadi?. Bukankah efeknya akan berimbas kepada soliditas kerja
pemda sehingga tidak dapat bekerja secara optimal dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat?. Bagaimana mungkin walikota dan wakilnya dapat menjalankan
program2 kegiatannya dengan baik dan terarah bila kondisi komposisi pegawai dan
struktur organisasinya tidak solid?. Bagaimana mereka akan berkoordinasi dengan
stakeholder lainnya bila koordinasi internal saja tidak beres?. Bagaimana mau
mensinergikan berbagai program dan kegiatannya bila terjadi pengembosan secara
internal?. Dan terakhir, bagaimana mungkin bisa walikota dan wakilnya dapat memanage potensi2 yang ada dan
yang dimilikinya?. Bisa dipastikan bagi struktur organisasi seperti ini tidak akan
memberikan konstribusi prestasi kinerja apapun. Dan bila hal ini tidak segera
diantisipasi, maka masyarakat-lah yang akan sangat dirugikan.
Solusinya
Tujuan mulia dari majunya para
kandidat peserta pilkada adalah untuk memberikan sumbangsih nyata melalui program
dan kebijakan publik yang dapat memberikan konstribusi signifikan pada
pembangunan sektor publik dan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan
mulia ini tidaklah main2 mengingat untuk merealisasikannya menggunakan amanah
uang rakyat. Sehingga kepala daerah yang terpilih wajib dapat memanage segala
sumber daya yang diamanahkan kepadanya secara serius, hati2 dan bijaksana.
Karena konsekwensi pertanggungjawabannya tidak hanya kepada masyarakat tetapi
juga secara legalitas hukum melalui mekanisme proseduril dalam pelaksanaan
program dan kegiatan yang dilakukan dan kesesuaian dengan mekanisme proseduril
terhadap penggunaan anggara. Belum lagi yang terberat yaitu tanggung jawab
sebagai pemimpin yang nantinya akan disidang dihadapan Sang Maha Pemimpin Allah
Subhana Wa Ta’ala.
Melihat kapasitas kinerja yang
akan dihasilkan adalah amanah rakyat dan sepenuhnya ditujukan untuk kepentingan
publik, maka kepala daerah yang terpilih harus dapat mampu memanage sumber daya
aparatur yang dipimpinnya. Satu hal yang
perlu diingat oleh kepala daerah dan aparatur sipil bahwa dalam teori
pemerintahan klasik telah disebutkan, “adanya pemerintahan adalah atas kehendak rakyat/masyarakat
dimana pemerintahan tersebut (akan) di/terbentuk”. Dengan kata lain,
masyarakatlah yang berhak menilai dan menentukan perlu atau tidaknya
dibentuknya suatu pemerintahan yang dapat mengatur secara adil dan proporsional
terhadap berbagai kebutuhan hidup kolektif yang mereka perlukan”.
Untuk kepentingan ini masyarakat rela mengeluarkan biaya melalui pajak dan
kewajiban2 kolektif lainnya agar dapat membiayai suatu organisasi yang
dinamakan pemerintah, termasuk didalamnya memperkerjakan orang2 yang dianggap
mampu dari aparatur sipil negara yang akan mempersiapkan dengan baik
kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan secara kolektif. Dan untuk memanage
organisasi publik dan (pekerja) sumber daya aparaturnya secara baik dan terarah,
maka rakyat/masyarakat memilih pemimpin bagi struktur yang mereka bentuk
tersebut melalui mekanisme pilkada yang dilakukan. Sekali lagi guna kepentingan rakyat/masyarakat.
Rakyat/masyarakat-lah yang menjadi “owner” pemerintah(an).
Menetapkan Komposisi Personil Pemda Adalah Hak dan Kewajiban Kepala Daerah
Dengan pemahaman seperti diuraikan di atas, maka
seyogyanya kepala daerah harus menyadari bahwa berbagai visi, misi, program,
dan kegiatan yang akan dijalankannya tidak akan bisa terlaksana tanpa adanya
dukungan dari sumber daya aparatur yang solid dan memiliki kapabilitas sebagai
pelayan publik.
Solid dalam artian mereka memahami bahwa beban
kerja dan output kinerja yang mereka hasilkan tidaklah dapat berdiri sendiri,
melainkan merupakan satu kesatuan komando dari visi, misi, sasaran, dan tujuan
dari berbagai agenda program dan kegiatan yang berasal dari instruksi pimpinan
yaitu kepala daerah. Tinggal mereka memilahnya sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya secara spesifik sesuai kekhususan dalam unit kerjanya masing-masing. Sementara
kapabilitas sebagai pelayan publik adalah sejauh mana kemampuan dari personil aparatur
maupun unit kerja pemda dapat mampu menterjemahkan berbagai tuntutan tugas,
fungsi dan peranan yang diberikan sebagaimana dimaksud di atas, dapat seefisien
dan seefektif mungkin memberikan hasil output kinerja yang sesuai dengan
kebutuhan nyata masyarakat. Dari uraian di atas sangat jelas diperlukan
kemampuan personil aparatur yang dapat mensingkronkan berbagai arah kebijakan,
sasaran dan tujuan dari berbagai agenda program dan kegiatan unit kerjanya yang
dapat selaras antara visi-misi dan kebijakan umum yang telah ditetapkan kepala
daerah dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Dengan berbagai pertimbangan
tersebut, maka kepala daerah terpilih harus memiliki kemampuan dalam memilah
dan memilih personil aparaturnya yang dapat bekerjasama secara loyal dan
proporsional sesuai dengan tuntutan kerja yang diharapkannya. Penempatan
personil aparatur khususnya pejabat publik yang dilakukan oleh kepala daerah terpilih
tidak serta merta didasari pertimbangan balas budi semata, tetapi pertimbangan kapabilitas dan
profesionalitas kerja yang juga dimiliki personil yang bersangkutan dalam
menterjemahkan kebijakan pimpinan yang sejalan dengan kepentingan publik. Berbicara
tentang kapabilitas dan profesionalitas kerja personil, maka peran dari track
record terhadap pengalaman kerja menjadi sangat penting untuk menjadi
bahan pertimbangan pimpinan.
Bilamana penempatan pejabat
publik yang dilakukan kepala daerah terpilih hanya didasarkan pada faktor
kedekatan dan balas budi semata, maka bisa dipastikan berbagai program dan
kegiatan serta visi dan misi dari kepala daerah tersebut tidak akan berjalan
sesuai dengan harapan.
Hak dan kewajiban pimpinan daerah
adalah mutlak untuk menyusun personil terbaik yang dapat bekerjasama secara team
work dalam organisasi yang dipimpinnya. Sehingga organisasi pemda dapat
terkendali, terarah dan tepat sasaran sebagaimana yang diinginkan oleh pimpinan
daerah yang bersangkutan dalam menjalankan amanah pelayan publik bagi
masyarakat yang memilihnya selama masa bhaktinya sebagai kepala daerah. Untuk
itu diperlukan ketegasan dari kepala daerah yang bersangkutan untuk menseleksi
dan mengevaluasi sumber daya aparaturnya secara arif dan bijaksana. Bilamana
ditemui ada personilnya yang tidak loyal terhadap tuntutan tugas serta tidak
dapat sejalan dengan kebijakan umum dan instruksi pimpinan, maka sudah
selayaknya personil yang bersangkutan dapat dipertimbangkan untuk dimutasi atau
di rotasi khususnya dari jabatan2 vital. Pertimbangan stabilitas jalannya roda
pemerintahan menjadi pertimbangan penting dalam bersikap tegas merasionalisasi
struktur organisasi dan personil yang akan dilakukan. Kalau pertimbangannya
sudah jelas sesuai dengan proseduril dan sesuai dengan kewenangan kepala daerah
selaku pimpinan, seharusnya tidak perlu dikhawatirkan aksi segelintir pegawai
pemerintah yang di mutasi dan kemudian naik banding ke PTUN, prosedur banding
ini adalah hak mereka selaku pegawai pemerintah selebihnya menyerahkannya pada
proses hukum yang harus dihormati hasilnya. Yang pasti memang tidak juga
dibenarkan untuk mencopot seorang pegawai karir tanpa alasan yang jelas dan
tanpa didasari dengan pertimbangan output kinerja dan loyalitas terhadap kerja
yang dilakukan dan dihasilkannya. Selebihnya, bilamana ada personil yang untuk
kemudian menyikapi mutasi yang dialaminya dengan membuat aksi yang tidak
kondusif bagi organisasi maka pimpinan berhak untuk mencopotnya demi
kemaslahatan organisasi.
Jadi tidak ada alasan terjadinya
gejolak dalam tubuh internal pemda pasca pilkada. Semoga bermanfaat.
Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter Two), Original post
by Rulianto Sjahputra.
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter