Pages

Senin, 14 April 2014

Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter One)


Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter One)
Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter One)


Romantika Kehidupan PNS Pemda

Dalam kesempatan makan siang dengan beberapa orang kawan lama dari pegawai Pemerintah Daerah (Pemda) di salah satu Kota sekitar Jakarta pada saat jam istirahat kerja, pembicaraan singkat kami lebih didominasi dengan topik sekitar dunia kerja mereka. Sebenarnya saya lebih tertarik membahas tentang nostalgia lama dengan kawan-kawan tersebut. Tetapi dikarenakan topik pembicaraan tersebut sepertinya dilontarkan seorang kawan dengan sedikit kesal yang ternyata diamini oleh rekan yang lain, makanya menjadi sedikit menarik buat saya untuk ikut nimbrung dalam topik tersebut. Emosi gitu loh,...

Kawan saya ini mengeluhkan kondisi lingkungan kantornya yang semakin hari semakin terasa tidak kompak baik diantara level pimpinan maupun rekan sejawat pasca selesainya Pilkada yang baru hitungan bulan dilaksanakan di daerahnya. Sama, ditempat saya juga begitu, kata teman saya pegawai Pemda yang satunya lagi sambil menyerumput kopi hitam di depannya. Padahal dulu-dulu habis Pilkada gak kayak begini lanjutnya.....  Loh kok bisa?, jawab saya menimpali.  Gak kompak kayak apa maksudnya?.

Kondisi kantor jadi tidak kondusif karena banyak pejabat yang dimutasi dan dilengserkan dari jabatan strategisnya oleh Walikota terpilih dan mereka tidak terima dimutasi lalu mereka maju ke pengadilan “PTUN” menggugat keputusan walikota yang telah memutasi mereka. Ya biarkan aja mereka maju ke PTUN, kan hak mereka, saya kembali menimpali. Masalahnya mereka ini ngadat beraktifitas sesuai dengan job mereka sehingga mempersulit kita-kita dalam berkoordinasi dalam urusan kerjaan. Udah gitu pakai ada yang ngasut dan ngebentuk kelompok-kelompok sakit hati di kantor. Teman lain yang tadinya Cuma ngedengerin mulai angkat bicara, “para –Barisan Sakit Hati - di Pemda bikin gejolak di kantornya masing2 karna gak terima di pindah dari posisinya yang basah”. .... Sekali lagi saya menimpali, “Loh kok bisa?, gimana mau ngelayani masyarakat kalau mental pejabatnya pada seperti itu?. Kan jabatan amanah, dan kebijakan milik atawa hak pimpinan yang menilai, mana saja pegawai yang dianggap berpotensi setelah melakukan evaluasi tentunya, serta ditambah lagi predikat yang loyal sama sang pimpinan. Bukan begitu bang, masalahnya yang diangkat ngisi jabatan2 strategis itu waktu Pilkada pro sama walikota terpilih. Balas budilah, sementra yang kontra lawan walikota sekarang disingkirin. .... Loh kok bisa? (sudah tiga kali saya ucapkan kata2 ini), kan untuk kondusifitas saat pilkada harusnya PNS pemda harus netral, minimal dalam lingkungan kerja mereka?. Lagipula jabatan walikota dan wakilnya adalah jabatan publik, dan bukan jabatan karir, apa urusannya sama pegawai pemda?.

Teman pemda saya ini kembali menjelaskan, bahwa saat proses pilkada berlangsung sudah terjadi kelompok2 antara yang pro dan yang kontra pada calon kandidat di lingkungan Pemda. Kondisi ini terjadi mengingat salah satu calon kandidat walikota adalah saudara kandung walikota yang sedang menjabat saat itu. Sementara kandidat calon walikota yang lainnya berasal dari pejabat karir tertinggi di pemda setempat, dan kandidat satunya lagi dari pejabat wakil walikota saat itu. Seru kan jadinya .....

Salahnya, sejak awal para pendukung dari adik walikota di kantor walikota sudah sesumbar rada arogan dan nepuk dada memproklamirkan diri kalau mereka adalah pendukung saudara kandung walikota sekaligus mempropokasi yang kontra biar gak macem2. Biasa lah cari muka sama walikota, samber tetangga saya yang duduk disebelah. Apalagi waktu itu ada kejadian dimana sebagian pejabat dilengser sama walikota (saat itu) karena pro sama kandidat lain. Oh, jadi walikotanya ikutan nyuruh dukung saudaranya ke para pegawainya?, guman saya dalam hati mulai mengerti akar permasalahannya. Jadi inget politik dinasti raja2 kecil yang baru tumbang di daerah sebelah.

Makanan yang kami pesan datang, obrolan kami tentang polemik terjadinya gejolak internal dalam birokrasi lokal berhenti dengan sendirinya. Sambelnya manaaa....?.


Quot chapter two :

Mereka bisa menerimanya sebagai bentuk “komitmen/kontrak” tidak tertulis dalam mekanisme politik lokal yang berjalan. Rasionya bagi mereka adalah wajar, siapa yang mendukung bahkan berkorban buat kandidat yang menang, maka dia akan mendapatkan porsi perlakuan istimewa dari kandidat pemenang saat ia menjabat.

Ada Ubi ada Talas Pasca Pilkada (Chapter One), original post by Rulianto Sjahputra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar