Tidak adanya kejelasan
reward dan punishment jelas tidak memberikan insentif bagi para PNS untuk
berkinerja baik. Atau malah sebaliknya, yang malas dan tidak punya kompetensi
justru mendapat jabatan sebagai kepala SKPD karena kedekatannya dengan kepala
daerah. Siapa pun yang menjadi staff-nya pasti akan sakit hati. Kalau
sebelumnya kita begitu bersemangat untuk bekerja secara ikhlas lambat laun
keikhlasan tersebut akan luntur. Bukan karena bernafsu mendapatkan jabatan tapi
secara psikologis pastilah setiap orang ingin dipimpin oleh orang yang layak
memimpin.
|
SPIP : Perbaikan Sistem Atau Manusianya? |
Apa Yang Ditawarkan SPIP? Perbaikan Sistem Atau Manusianya?
“Ketaatan penduduk indonesia
terhadap Tuhan (mungkin) mencapai 90%. Tapi kenapa korupsinya juga tinggi?”
Apa pendapat Pembaca yang budiman terhadap pernyataan di atas?
Miris? Atau biasa saja? Bisa jadi dua-duanya….
Ya..karena sebenarnya pertanyaan di atas sering kita dengar. Kami yakin Pembaca
yang budiman pun berfikir demikian. Bahkan mungkin lebih dari sepuluh tahun
yang lalu pertanyaan senada juga sudah sering dilontarkan. Namun, kali ini
pernyataan dari mantan rektor sebuah Universitas Islam menjelang berbuka puasa
di hari pertama bulan Ramadhan tersebut memancing kami untuk memberikan respon
yang berbeda dari sebelumnya.
Memprihatinkan memang…negeri yang mayoritas taat beribadah justru
menjadi negeri yang selalu menempati rangking tertinggi dalam rating korupsi.
Apa yang salah? Banyak yang mengatakan karena sebagian besar berpredikat Islam
KTP sehingga nilai-nilai agama yang dijalankan tidak menyentuh esensinya. Atau,
efek sekularisasi yang memisahkan antara agama dengan aspek duniawi? Akibatnya,
kesalehan individu tidak membentuk kesalehan sosialnya. Bisa jadi benar. Tapi
Kami sendiri juga kurang yakin kalau kedua faktor itu dianggap sebagai trigger
orang untuk melakukan korupsi.
Mau tau jawabannya?
Dalam tulisan ini kami mencoba mendekati masalah ini dari aspek
ke-sistem-an. Memang benar dan diakui bahwa akar permasalahan korupsi dan
konco-konconya terletak pada manusia yang menjalankan sebuah sistem. Namun,
manusia yang tidak profesional dan korup itu sendiri pun sebenarnya terbentuk
dari sebuah sistem yang lemah.
Ya.. Menyandingkan manusia dengan sistem memang mirip dengan menanyakan
mana yang lebih dulu: telur atau ayam.
Namun, untuk membangun manusia harus dimulai dari sebuah sistem yang
kuat. Membangun sistem yang bisa memproduksi manusia yang taat jauh lebih
efektif dari pada membuat gerakan perubahan yang mengandalkan kekuatan orang
per orang. Lihat saja, ketika mengunjungi Singapura orang Indonesia mendadak
menjadi orang yang peduli pada lingkungan: tidak membuang sampah sembarangan.
Sama halnya dengan ketika mereka membuat janji untuk bertemu dengan rekannya di
Australia, Inggris atau negara maju lainnya. Tiba-tiba mereka membuang jam
karetnya entah ke mana. Singkatnya, orang yang buruk bisa tiba-tba menjadi
orang baik ketika masuk ke dalam sebuah sistem yang sudah terbangun dengan
baik. Sebaliknya, orang yang baik-baik ketika masuk ke dalam sitem yang buruk
lambat laun akan menjadi buruk. Tidak perlu jauh-jauh untuk mengambil contoh.
Berapa banyak aktivis-aktivis kampus yang tiba-tiba menjadi ‘biasa-biasa’ saja
ketika masuk menjadi PNS dan larut dengan keadaan? Atau, yang terjadi mereka
tidak sanggup menerjemahkan ‘perjuangan’ mereka di mimbar-mimbar demonstrasi
dalam konteks kinerja abdi negara yang sesungguhnya.
Lalu, bagaimana menyelesaikan
masalah bangsa dalam kerangka ke-sistem-an?
Pendekatan kesisteman pada dasarnya adalah pendekatan yang melihat dari
aspek yang lebih luas, bukan orang perorang. Oxford Dictionary menerjemahkan sistem sebagai: group of parts that are connected or work
together atau sekumpulan bagian-bagian yang terhubung atau bekerja secara
bersama-sama.
Dalam tubuh manusia sendiri ada banyak sistem. Untuk bernafas saja
diperlukan hidung, trakea , paruparu , tulang rusuk , otot interkosta, bronku,
bronkiol, alveolus dan diafragma. Manusia bisa menikmati udara segar karena
berjalannya seluruh bagian-bagian tubuh yang membentuk sistem pernafasan. Jika
salah satu bagian tersebut bermasalah maka terganggulah seluruh proses
pernafasan. Tenggorokan yang radang saja bisa mengganggu proses pernafasan.
Apalagi jika yang bermasalah paruparunya tentu dampak terhadap proses
pernafasan lebih besar.
Sama halnya dengan sistem penyelenggaraan negara yang menjadi satu
kerangka besar dalam tata kelola pemerintahan. Dari satu sistem tersebut
diturunkan menjadi sistem-sistem yang lebih kecil. Keseluruhan sistem tersebut
secara integral bekerja secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bernegara.
Sistem-sistem tersebut diantaranya adalah pengelolaan sumber daya manusia,
pengelolaan keuangan negara, hingga sistem pemilihan kepala daerah/negara.
Kalau kemudia timbul suatu penyakit atau permasalahan akibat tidak berjalannya
sistem tersebut maka pengobatannya pun harus menggunakan pendekatan kesisteman
pula. Makanya, melihat korupsi tidak bisa dilihat dari aspek ‘beriman’
tidak-nya seseorang. Memang, seharusnya orang-orang yang ‘beriman’ idealnya
mempunyai integritas dan profesionalisme yang lebih dibanding yang tidak.
Tetapi, permasalahan runyamnya tata kelola pemerintahan lebih kepada belum
terbangunnya sistem penyelenggaraan negara yang baik. Pertanyaan selanjutnya,
jika sistem tersebut telah terbangun kuat apakah sudah dijalankan secara
konsisten?
Mari kita coba lihat dari aspek
pengelolaan sumber daya manusia saja…
Tau PGPS? PGPS* adalah akar permasalahan
buruknya kinerja PNS/ASN. Percaya? 90% Kami yakin anda akan sepakat. Tidak adanya kejelasan reward dan
punishment jelas tidak memberikan insentif bagi para PNS untuk berkinerja baik.
Atau malah sebaliknya, yang malas dan tidak punya kompetensi justru mendapat
jabatan sebagai kepala SKPD karena kedekatannya dengan kepala daerah. Siapa pun
yang menjadi staff-nya pasti akan sakit hati. Kalau sebelumnya kita begitu
bersemangat untuk bekerja secara ikhlas lambat laun keikhlasan tersebut akan
luntur. Bukan karena bernafsu mendapatkan jabatan tapi secara psikologis
pastilah setiap orang ingin dipimpin oleh orang yang layak memimpin. Itu
baru satu kelemahan pengelolaan SDM, belum lagi rekrutmen yang amburadul dan
penempatan pegawai yang tidak berdasarkan kompetensi.
Bagaimana dengan sistem tata pemerintahan yang lain? Pemilukada? Hmmm…
untuk yang satu ini justru banyak yang mengatakan bahwa kinerja pemerintah
daerah semakin buruk sejak diterapkannya pemilukada. Intervensi politik dalam
birokrasi semakin kental karena sistem pemilihan kepala daerah yang baru ini.
Lagi-lagi sistem….
Ya.. permasalahan seperti ini lazim terjadi di negara-negara berkembang.
Korupsi dan konco-konconya sesungguhnya bukanlah monopoli negara-negara yang
penduduknya ‘beriman’. Namun, disebabkan oleh kesalahan membangun dan
menegakkan sistem yang bisa jadi sengaja dibangun secara lemah oleh beberapa gelintir
manusia.
Bagaimana dengan sepip atau SPIP?
SPIP melihat permasalahan ini dari aspek kesisteman. Terang saja, dari
singkatan katanya saja sudah menyebutkan sistem pengendalian intern pemerintah
he..he… Sistem pengendalian intern melekat pada setiap aktivitas pemerintahan
baik pada level pusat, daerah atau pada tingkat SKPD. SPIP ibarat darah yang
mengaliri seluruh tubuh. Ia melekat dalam setiap aktivitas instansi pemerintah.
Contoh Berjalannya Perbaikan Sistem
di KPPN
Kemarin, kami sempat ‘mewawancarai’ rekan yang kebetulan sering
berurusan dengan KPPN** di kota tempat kami
tinggal. Nah, ternyata rekan tersebut menyatakan KPPN sudah banyak berubah.
Untuk mencairkan dana tidak ada lagi yang namanya ‘lampiran’. Ia mengatakan
‘Bersih’ dan yang lebih penting tidak berbelit-belit. Birokrasi dipangkas
sehingga proses pencairan dana tidak membutuhkan waktu yang lama asal dokumen
yang dipersyaratkan lengkap. Cukup dua jam dana bisa cair.
Apa yang dilakukan oleh KPPN? Perbaikan sistem. Ya…sistem lah yang telah
mereka perbaiki. Percepatan proses pengurusan tidak akan pernah terjadi jika
tidak ada perbaikan di sistem dan prosedur yang berorientasi pada kepuasan
layanan pelanggan. Percaya? Pegawai-pegawai yang mempunyai pola pikir jadul
yang terbiasa dengan ‘lampiran’ dikandangkan dan diganti dengan fresh graduated
yang masih ‘lugu’. Hasilnya, sempuuurnaaa…..
Apa yang dilakukan oleh KPPN adalah contoh dari penerapan SPIP yang juga
merupakan sebuah proses reformasi birokrasi. SPIP adalah sistem pengendalian
yang bertujuan untuk membangun dan memperbaiki sistem dalam instansi
pemerintah, bukan perbaikan yang bersifat individu-individu. Tapi, tidak
berarti SPIP tidak melihat aspek individu. Melainkan memperbaiki individu
dengan pendekatan kesisteman.
Bagaimana pendapat anda pembaca?.
Semoga bermanfaat.
--------------------------------end.
Keterangan editor :
* PGPS : adalah Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil yang kemudian popular dengan
singkatan PGPS. PGPS yang terkenal adalah PGPS 1968 yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP)
Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1968 Tentang
Perobahan Dan Penambahan Atas PP-RI
Nomor 12 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2833) Tentang
PERATURAN GAJI PEGAWAI NEGERI SIPIL REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1968 (P.G.P.S.
1968). (ed. Rulianto Sjahputra).
** KPPN : Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang kemudian dikenal dengan
sebutan KPPN. KPPN berada di bawah struktur Dirjen Pajak Departemen Keuangan
Republik Indonesia. (ed. Rulianto Sjahputra).
Referensi
: PP RI No.
60/2008 tentang SPIP, Diskusi Warung Kopi Pemda.
Kontributor
: Nur Ana
Sejati
Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP), Editor & Repost
by Rulianto Sjahputra.
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter