Di instansi pemerintah pun pada dasarnya masih ada beberapa gelintir
pimpinan yang mempunyai komitmen kuat untuk melaksanakan tugas. Mereka adalah
orang-orang yang berkinerja tinggi, punya komitmen, profesional, berintegritas,
inovatif, visioner dan tidak pernah mengaitkan pekerjaan dengan
insentif-insentif financial.
|
SPIP : Menghidupkan Sistem Dengan Sistem |
Menghidupkan Sistem Dengan Sistem
Sistem yang menghidupkan sistem? Ide tulisan ini muncul setelah diskusi sebelumnya tentang sistem vs individu diperdebatkan di warung kopi pemda. Selama
ini diskusi tentang pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang
baik selalu bermuara pada ending: tergantung individu. Seorang kawan mencoba
membalik pernyataan bahwa sistem yang kuat hanya akan lahir dari individu yang
berdedikasi. Bahkan beberapa teori pun menyatakan bahwa sekuat apa pun sistem
dibangun kalau manusiannya tidak beres ya tidak ada gunanya.
Tapi, dari diskusi tersebut kami justru ingin mengembalikan sistem
kepada fitrahnya kembali. Maksudnya, kalimat ‘tergantung individu’ sebenarnya
memunculkan celah untuk membangun sebuah sistem yang melahirkan
individu-individu yang bisa diandalkan untuk membangun sistem dan menjalankan
sebuah sistem.
Apa maksudnya nih?
Mari kita bahas pelan-pelan. Tapi sebelumnya, ada satu pertanyaan.
Yakinkah saudara sekalian bahwa sistem pemerintahan kita sudah dibangun dengan
memperhatikan seluruh unsur pengendalian yang bisa mencegah seseorang melakukan
kecurangan, korupsi, kolusi dan konco-konconya? Dan percayakah bahwa semua hal
yang terjadi disebabkan karena lemahnya pengendalian?
Penekanan Sistem Pada Pembinaan SDM Aparatur
Pembahasan kami tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) berikut memberikan sebuah titik
terang akan jawaban bahwa untuk membangun pemerintahan yang kuat perlu dibangun
sistem yang bisa menghidupkan sistem. SPIP sebenarnya adalah sebuah sejarah
panjang hingga mewujud seperti saat ini. Sebelum muncul SPIP kita mengenal
adanya pengawasan melekat atau sistem pengendalian manajemen. Nah,
sistem-sistem yang dibangun sebelumnya hanya menyentuh aspek hard control atau
perangkat kerasnya saja. Lihat saja, komponen dari SPM adalah pengorganisasian,
personil, kebijakan, perencanaan, prosedur, pencatatan, pelaporan dan reviu
intern. Seluruhnya adalah benda mati yang jika tidak dilaksanakan oleh
individu-individu dalam organisasi tidak akan berjalan. Makanya, kalau kemudian
suatu instansi pemerintah sudah mempunyai seperangkat peraturan, protap, SOP
dan sebagainya tapi tidak berjalan yang disalahkan kemudian adalah manusianya.
Siapa lagi.. ya karena manusianya lah yang menjalankan sistem tersebut. Untuk
mem-back up atau mendorong supaya manusia-manusia ini bergerak menjalankan
sistem yang telah terpasang tersebut dibutuhkan sebuah sistem yang terintegrasi
dengan sistem yang ada.
Sistem pengendalian Intern Pemerintah yang digagas berdasarkan PP 60
tahun 2008 mencoba mengintegrasikan antara perangkat keras organisasi berupa
peraturan dan lain-lain dengan faktor manusia (perangkat lunak) dalam sebuah
sistem yang utuh. Pembangunan lingkungan pengendalian tidak bisa mengandalkan
harapan, himbauan, dan cita-cita terhadap sosok-sosok tertentu, khususnya
pimpinan yang menjadi tone of the top. Yang perlu dibangun adalah bagaimana
membangun sistem yang bisa melahirkan sosok pimpinan yang digadang-gadang bisa
membawa organisasi mencapai tujuannya.
Sesekali coba perhatikan para aktivis kampus ataupun aktivis dakwah yang
mempunyai karakter tersendiri. Bagaimana mereka bisa seperti itu?
Mereka tidak lahir begitu saja. Mereka adalah hasil didikan dari sebuah
organisasi yang mempunyai komitmen kuat untuk mewujudkan tujuan bersama.
Didikan itu bernama kelompok diskusi bagi para aktivis kampus dan halaqah bagi
para aktivis dakwah. Setiap minggu atau bahkan lebih sering mereka dipertemukan
dan dibina oleh senior yang dianggap mempunyai pemahaman lebih terhadap garis perjuangan
atau garis dakwah. Mereka pun mempunyai ‘kurikulum’ tersendiri sehingga
kader-kader dakwah sebagaimana yang diharapkan. Mereka-mereka ini lah yang
ketika telah ‘tercelup’ kurikulum ini akan mempunyai loyalitas yang luar biasa
terhadap organisasi. Mereka sanggup meluangkan waktu, tenaga dan fikiran demi
kepentingan bersama. Bahkan, mereka berani menunjukkan ‘perbedaan’ mereka
sebagai karakter yang merupakan cerminan dari organisasi. Mereka juga sanggup
mengeluarkan rupiah untuk mendanai kegiatan organisasi.
Di instansi pemerintah pun pada
dasarnya masih ada beberapa gelintir pimpinan yang mempunyai komitmen kuat
untuk melaksanakan tugas. Mereka adalah orang-orang yang berkinerja tinggi,
punya komitmen, profesional, berintegritas, inovatif, visioner dan tidak pernah
mengaitkan pekerjaan dengan insentif-insentif financial. Mereka menyadari sepenuhnya tanggung jawab tugas yang mereka terima.
Apa yang membuat mereka mampu mempertahankan idealisme sementara yang lain
tidak? Inilah yang sering kemudian membuat orang kemudian menyimpulkan
‘tergantung masing-masing individu’. Atau kalau menurut salah seorang kawan
‘back to our self’. Kalau jawaban seperti ini yang muncul..berakhirlah diskusi.
Analogi aktivis dakwah dan aktivis kampus di atas adalah jawaban bahwa
individu-individu yang berintegritas, profesional dan seperangkat atribut
baiknya itu dilahirkan oleh sebuah sistem bukan lahir dari sebuah ucapan ‘sim
salabim’. Pertanyaannya kemudian: bagaimana membuat individu-individu di
lingkungan instansi pemerintah mempunyai karakter sebagaimana aktivis kampus
dan aktivis dakwah yang rela mengorbankan, harta, jiwa dan raga untuk perbaikan
pelayanan publik? Bagaimana melahirkan sosok pimpinan seperti di atas?
Bagaimana SPIP menjadi alat untuk melahirkan sosok-sosok idaman?
Tahapan Penerapan SPIP
SPIP sesungguhnya adalah sistem yang dibangun untuk menghidupkan
sistem-sistem yang sudah terbangun dalam organisasi.
Strategi penerapan SPIP terdiri dari beberapa tahap. Dari sosialisasi,
pemetaan, internalisasi hingga pemantauan atas penerapan SPIP. Pada tahap
pembangunan infrastruktur SPIP belum dianggap hidup jika belum ada proses
internalisasi. Di satu sisi internalisasi pun tidak bisa kalau hanya sekedar
himbauan secara lisan tapi harus ada sebuah mekanisme yang membuatnya berjalan.
Dalam hal penegakan etika dan kode etik, misalnya, instansi pemerintah belum
dianggap menerapkan SPIP secara sempurnya jika dan hanya jika yang dilakukan
adalah menetapkan aturan perilaku saja. Aturan perilaku itu pun tidak bisa
sekenanya, maksudnya hanya berbaju peraturan namun secara substansi tidak cukup
detail untuk menjadi pedoman tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh pegawai. Saat ini pun sudah banyak sekali instansi pemerintah
yang mempunyai aturan perilaku. Bahkan tak jarang gubernur/bupati
‘mengupacarakan’ penandangan pakta integritas. Hasilnya?
Dokumen-dokumen/peraturan-peraturan tersebut hanya menjadi sebuah formalitas.
Salah satu upaya yang ditempuh, sejalan dengan penerapan birokrasi,
Direktorat jendral pajak tidak hanya mengeluarkan kode etik tetapi juga pedoman
pelaksanaan yang memberikan contoh perilaku yang tidak boleh dilakukan oleh pegawai
secara konkrit. Inilah salah satu point yang dibahas dalam pedoman tersebut: E
adalah Pegawai Tugas Belajar. Selama masa pendidikan, E memanfaatkan waktu
luangnya untuk bekerja sebagai “konsultan pajak” dan menerima imbalan dari WP
atas kegiatannya tersebut. Dalam kasus ini E telah melanggar Kode Etik, baik
karena kegiatan yang dilakukannya maupun karena menerima imbalan dari WP. Atau
larangan terhadap hal-hal yang mungkin dianggap biasa berikut: B adalah
pelaksana pada KPDJP yang sedang melanjutkan kuliah Strata 1. Untuk menghemat
pengeluaran pribadi, B menggandakan materi atau buku referensi kuliah dengan
menggunakan mesin fotokopi kantor. Bayangkan jika yang dimuat dalam kode etik
adalah hal-hal yang sangat umum seperti salah satu butir kode etik di sebuah
pemerintah daerah berikut: tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat
waktu dalam melaksanakan setiap kebijakan program pemerintah. Pada contoh kode
etik yang ada di pemerintah daerah tersebut akan muncul banyak area abu-abu
yang pastinya akan menyulitkan proses penegakannya.
Membangun sistem yang menghidupkan sistem pada dasarnya adalah membangun sebuah mekanisme yang dibingkai dalam sebuah sistem yang melekat kuat pada sebuah organisasi.
Menegakan Etika dan Integritas hanyalah satu contoh bagaimana
menggerakkan sistem-sistem dalam sebuah organisasi dengan membangun manusianya.
Membangun manusia itu sendiri dibutuhkan sebuah sistem yang terintegrasi dan
bukan hanya sekerdar mengharapkan individu-individu untuk berubah tanpa sebuah
arah yang jelas. Membangun sistem yang menghidupkan sistem pada dasarnya adalah
membangun sebuah mekanisme yang dibingkai dalam sebuah sistem yang melekat kuat
pada sebuah organisasi.
SPIP sesungguhnya adalah sistem
yang dibangun untuk menghidupkan sistem-sistem yang sudah terbangun dalam
organisasi. Penegakan integritas dan etika baru satu sub
unsur dari lingkungan pengendalian yang hendak dicapai. Demikian pula harapan
akan munculnya seorang pemimpin dan aparat yang profesional pun sesungguhnya
bisa diwujudkan dengan membangun sistem yang memungkinkannya menjadi ada. Dalam
sub unsur pengendalian SPIP yang perlu dibangun adalah komitment pada
kompetensi dan kepemimpinan yang kondusif. Bagaimana caranya? Tunggu pembahasan
kami berikutnya….
--------------------------------end.
Referensi
: PP RI No.
60/2008 tentang SPIP, Diskusi Warung Kopi Pemda.
Kontributor
: Nur Ana
Sejati
SPIP : Menghidupkan Sistem Dengan Sistem,
Editor & Repost by Rulianto Sjahputra.
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter