Pages

Minggu, 20 April 2014

Kemahalan Harga Satuan Pekerjaan , Sebuah Dosa Atau Tren Budaya?


Terdapat dua kejadian yang memungkinkan selisih harga kontrak yang lebih tinggi daripada harga pasar dapat menjadi suatu kemahalan harga yaitu (1) jika pelaksanaan prosedur pengadaan/lelang menyimpang dari ketentuan yang berlaku sehingga mengakibatkan harga kontrak menjadi tidak kompetitif/wajar; dan (2) jika ternyata diketahui bahwa terdapat aliran cash-back dari penyedia barang/jasa kepada pengguna barang/jasa.

Kemahalan Harga Satuan Pekerjaan , Sebuah Dosa Atau Tren Budaya?
Kemahalan Harga Satuan Pekerjaan , Sebuah Dosa Atau Tren Budaya?

Pembaca yang budiman, pengadaan barang/jasa (PBJ) di lingkungan pemerintah disinyalir menjadi salah satu sumber pembiakan korupsi di negeri ini. Dalam beberapa kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang pernah/sedang/telah di-selidik/sidik/tuntut/vonis oleh Aparat Penegak Hukum (APH), kejadian pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai spesifikasi kontrak baik secara kuantitas maupun kualitas atau harga kontrak di atas kewajaran harga pasar adalah trend yang hampir berlaku umum dalam banyak kasus TPK. Entah kejadian tersebut dilakukan secara sengaja atau hanya karena ketidaktahuan/kelalaian para pelaku PBJ, namun yang pasti akibatnya negara (daerah) telah dirugikan karena memperoleh barang/jasa dengan nilai lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang telah dikeluarkan untuk perolehannya itu sendiri.

Pekerjaan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dalam kontrak memang benar merupakan penyimpangan atas suatu ketentuan. Tidak hanya ketentuan perundang-undangan yang dilanggar, norma yang berlaku umum pun tidak akan pernah merestui seseorang (pribadi/badan) melakukan tindakan ingkar atas janji yang telah disepakati ini. Tak heran, pada kasus ini belum pernah ada pelaku yang berhasil divonis bebas oleh majelis hakim dalam suatu persidangan.

Namun terdapat perlakuan yang cukup “unik” untuk kejadian TPK berupa (indikasi) harga kontrak di atas kewajaran harga pasar. Kemahalan harga adalah istilah lain yang digunakan untuk mendeskripsikan kejadian ini. “Bajunya ga kemahalan, Bang? Toko-toko sebelah cuma seharga 50, si Abang ko jualnya seharga 70..” atau “Mahal sekali, Bang! Baju ini kemarin kan cuma 50, ko sekarang jadi 70?!” adalah sedikit contoh “protes” umum yang lazim ada dalam satu proses jual beli ketika mengetahui–dengan sebenarnya dan bukan dalam rangka meningkatkan bargaining–bahwa harga pasar untuk baju tersebut adalah benar 50 bukan 70.

Pun begitu halnya dengan PBJ yang dibiayai oleh keuangan negara (daerah). Pada saat harga pasar suatu barang hanya 70 namun negara (daerah) harus membayar 100 untuk meng-ada-kannya, maka norma umum akan dengan–serta merta–menjudge bahwa kejadian itu adalah kemahalan harga dan negara (daerah) telah—serta merta–dirugikan sebesar 30.

Judgement menurut norma umum ini tidak salah namun tidak juga–serta merta–benar. Adalah tidak salah karena 100 memang jelas lebih mahal ketimbang 70, dan bahkan pada pasal-pasal awal ketentuan (pedoman) PBJ pun telah diatur mengenai efisiensi serta upaya pencegahan terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam prinsip dan etika pengadaan. Namun jika kejadian 100 versus 70 ini hanya disimpulkan dari fakta saat itu bahwa harga kontrak adalah 100 dan harga pasar yang wajar adalah 70 tanpa mendalami adanya fakta dan proses kejadian yang mendahuluinya, maka simpulan kemahalan harga tadi akan–sangat amat–mungkin untuk terbantahkan.

Mekanisme Kontrak Pengadaan

Pembaca yang budiman,
Kontrak pekerjaan adalah hasil dari proses pengadaan yang tata caranya telah diatur dalam satu ketentuan (pedoman) pengadaan. Khusus PBJ di lingkungan pemerintah, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 20110 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang terakhir diubah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 adalah acuan yang digunakan oleh pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pengadaan. Karena kontrak merupakan produk hasil maka sepanjang proses untuk membuat hasil itu telah melalui suatu tahapan yang sesuai dengan ketentuan berlaku dan tidak terdapat penyimpangan di dalamnya maka harga kontrak 100 tadi tidak dapat disimpulkan menjadi lebih mahal daripada harga pasar 70. Kok bisa?

Kemahalan Harga Satuan Pekerjaan , Sebuah Dosa Atau Tren Budaya?
Bijak dalam belanja barang/jasa pemerintah
Begini, serupa pembelian baju tadi, apakah si Abang salah jika ternyata menjual baju seharga 70 di saat toko-toko yang lain hanya memberi label harga 50 pada baju yang sama? Tentu tidak ada yang salah pada kejadian ini karena dalam etika bisnis memperoleh keuntungan yang besar tentunya sah-sah saja. Hanya mungkin si Abang penjual harus siap gigit jari karena pembeli umumnya pasti akan memilih toko baju lain yang menjual dengan harga lebih murah.

Setali tiga uang dengan jual beli baju di atas, jika ternyata harga kontrak 100 tadi diperoleh melalui suatu proses lelang yang fair mulai dari penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), evaluasi oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) / Pejabat Pengadaan sampai kepada penetapan pemenang tanpa ada sedikit pun rekayasa oleh para pihak terkait pelaksanaan PBJ maka selisih 30 dari harga pasar 70 adalah bukan merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan adanya kemahalan harga.

Penyebab Selisih Harga
Berdasarkan bahasan dengan rekan APIP, APH dan para pihak yang terkait langsung dengan kegiatan pengadaan bahwa terdapat dua kejadian yang memungkinkan selisih harga kontrak yang lebih tinggi daripada harga pasar dapat menjadi suatu kemahalan harga yaitu (1) jika pelaksanaan prosedur pengadaan/lelang menyimpang dari ketentuan yang berlaku sehingga mengakibatkan harga kontrak menjadi tidak kompetitif/wajar; dan (2) jika ternyata diketahui bahwa terdapat aliran cash-back dari penyedia barang/jasa kepada pengguna barang/jasa.

Satu kasus nyata yang boleh/bisa dijadikan “contoh soal” karena telah inkracht (memiliki kekuatan hukum tetap, terakhir permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung pada 2004 dengan vonis pidana penjara sekian tahun, denda sekian ratus juta rupiah dan uang pengganti sekian milyar) adalah kasus Ir. Abdullah Puteh, M. Si., Gubernur Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) periode 2000 – 2004 dalam kasus pengadaan helikopter.

Kasus ini merupakan salah satu (satu-satunya?) kejadian kemahalan harga yang (dapat/telah) divonis bersalah. Tiga penyimpangan sekaligus berhasil dibuktikan di persidangan saat itu yang semuanya bermuara pada kejadian kemahalan harga yaitu (1) spesifikasi barang tidak sesuai kontrak; (2) prosedur pengadaan melanggar ketentuan berlaku; dan (3) ditemukan adanya aliran kas antara sang gubernur dan kontraktor pelaksana. Karena penyimpangan ini dapat dibuktikan dalam persidangan maka mulai dari tingkat Pengadilan Negeri sampai kepada kasasi di MA semuanya memberikan vonis bersalah kepada Abdullah Puteh.

Jadi, harga yang mahal belum tentu–serta merta–akan menjadi suatu kemahalan harga. Dalam melakukan kegiatan pengadaan, selain pedoman PBJ sebagai acuan utama, aturan lain yang berlaku dan dapat diterima umum kadang juga harus turut dipertimbangkan sebelum membuat suatu keputusan. Ketentuan jasa konstruksi, hukum perikatan, atau mungkin hukum dagang seperti pada contoh kejadian di atas adalah sedikit dari sekian banyak rambu yang mungkin dapat dijadikan petunjuk arah bagi pihak terkait kegiatan pengadaan, agar dapat selamat sampai ke tujuan. Semoga bermanfaat.
-----------------end.

Referensi : Diskusi Warung Kopi Pemda
Edit & Post : Rulianto Sjahputra, Kemahalan harga, Sebuah Dosa Atau Tren Budaya?.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar