Pages

Rabu, 16 April 2014

Balanced-Scorecard: Tak Sekedar Alat Ukur Kinerja


Balanced-Scorecard: Tak Sekedar Alat Ukur Kinerja
Balanced-Scorecard: Tak Sekedar Alat Ukur Kinerja

Setelah menulis buku The Balanced-Scorecard, Robert S Kaplan dan David P. Norton melanjutkannya dengan buku-buku lain yang juga menjadi bagian dari pengembangan konsep awalnya. The Balanced Scorecard adalah buku yang fenomenal karena mampu mengubah wajah sistem pengukuran kinerja sektor privat dan kini pun diadopsi di sektor publik termasuk instansi pemerintah kita.

Balanced-Scorecard adalah bagian dari strategi manajemen kinerja. Konsepnya sebenarnya sederhana saja. Di masa lalu, pengukuran kinerja hanya mengandalkan data-data keuangan. Aspek akuntansinya sangat kental. Analisisnya kinerjanya pun lebih banyak didasarkan pada analisis laporan keuangan. Di sisi lain, banyak hal yang tidak bisa ‘di akuntansikan’. Misalnya, bagaimana mencatat ikan yang ada di laut sebagai aset pemerintah, atau bagaimana pengelola klub sepak bola mencatat David Backham sebagai aset. Dalam beberapa hal memang laporan keuangan sedikit banyak membantu memotret secara keseluruhan organisasi. Pemda kaya atau miskin bisa jadi bisa dilihat dari besarnya PAD. Klub hebat bisa tercermin dari laba yang dihasilkan. Namun, mengandalkan laporan keuangan tentu tidak akan membuat pembaca memahami beda pemda dengan pelayanan publik bagus atau tidak, klub yang punya masa depan atau yang akan tumbang.

Balanced-Scorecard, sebagaimana namanya, mencoba menyeimbangkan antara penyajian aspek finansial dan non finansial. Menurut Kaplan dan Norton, aspek-aspek tersebut adalah:

(*) Financial atau keuangan: ya..seperti sebelumnya disini aspek keuangan yang dinilai. Dalam konteks perusahaan aspek finansial ini lebih menekankan bagaimana perusahaan di mata para pemegang saham. Tentu, dari aspek profitnya. Di sektor publik, aspek finansial bisa di lihat dari sisi bagaimana instansi pemerintah mendapatkan pendanaan. Atau, bagaimana instansi pemerintah membiayaai program-programnya.

(*) Customer atau pelanggan: aspek ini mencoba menjawab “How do customers see us?” atau apa pendapat pelanggan perusahaan. Kalau di perbankan bisa kita contohkan dari seberapa ramah customer service dalam melayani, seberapa cekatan teller, atau seberapa responsif bagian pengaduan layanan menghadapi komplain2.

(*) Internal business processes atau proses binis internal: berfokus pada proses penyediaan layanan. Misalnya, seberapa efektif standar dan prosedur operasi yang disusun dan apakah sistem informasi yang dibangun mendukung kecepatan layanan.

(*) Learning and growth: nah, ini yang paling saya sukai. Aspek ini menekankan pada “How can we continue to improve, create value and innovate?”. Intinya bagaimana organisasi mendukung pada pembentukan SDM yang mumpuni.

Keempat aspek Balanced-scorecard tersebut menjadi bagian penting dari informasi yang harus diketahui oleh manajemen. Sehingga, di butuhkan alat ukur untuk menilai bagaimana organisasi menangani pelanggan, cara organisasi menjalankan proses bisnisnya, serta komitmen organisasi terhadap pengembangan sumberdaya manusia. Dan terakhir, bagaimana akhirnya ketiga aspek tersebut terintegrasi dan mendukung pencapaian hasil akhir berupa profit atau aspek finansialnya. Hal ini tentu dalam beberapa hal berbeda dengan organisasi sektor publik dimana aspek finansial tidak diletakkan pada ujung cerita, melainkan di awal ataupun di tengah-tengahnya.

Dalam banyak hal balance scorecard lebih sering dipahami dan digunakan sebagai alat ukur kinerja. Artinya, penerapan balanced-scorecard terbatas digunakan pada saat melakukan pengukuran kinerja. Tidak begitu salah sebenarnya. Hanya saja penggunaan balanced-scorecard sebatas pada pengukuran kinerja sebenarnya justru melemahkan keampuhan konsepnya sendiri. Padahal, jika balanced-scorecard dipahami dan digunakan sebagai bagaian dari strategi perusahaan

Dalam buku Strategi Maps Kaplan dan Norton kembali menegaskan bagaimana seharusnya memperlakukan balanced scorecard. Hal ini didasari oleh banyaknya kesalahan dalam memahami. Balanced scorecard lebih sering dimaknai sebagas matrik-matrik alat ukur, atau indikator, kinerja. Padahal, bukan hanya itu. Salah satu kutipan yang layak untuk didiskusikan adalah ketika mereka membincangkan masalah SDM. Khususnya di bagian Introduction yang saya rasakan begitu menohok. Mereka katakan

What’s true of companies is even truer for countries. Some countries such as Venezuela and Saudi Arabia, have high physical resource endowments but have made poor investments in their people and systems. As a consequence, they produce far less output per person, and experience much slower growth rate, than countries such as Singapore and Taiwan that have few natural resources but invest heavily in human and information capital and effective internal systems

Untunglah Kaplan dan Norton tidak menyebut Indonesia. Mungkin karena jaraknya lebih jauh dari Amerika dibanding kedua negara yang ia sebutkan hingga tak terfikirkan.Venezuela disebut mbah Wiki sebagai negara dengan extremely high biodiversity. Venezuela juga disebut pernah sebagai negara pengekspor minyak terbesar dunia dengan persediaan minyak terbesarnya. Sayangnya setelah mengalami krisis minyak akibat menurunnya permintaan minyak dunia di tahun 1980 akibat krisis global Venezuela didera masalah tak berkesudahan. Negeri tersebut dibelenggu hutang, inflasi meningkat 100% di tahun 1996 dan kemiskinan pun mencapai angka 65% di tahun 1995. Meski sempat sedikit membaik di tahun 2001, ekonomi Venezuela sepertinya terus terguncang. Inflasi november 2013 kabarnya mencapai 54%.

Venezuela juga dikenal dengan tingginya tingkat korupsi. Bahkan penemuan minyak justru dianggap memperparah korupsi. Akhir 1970an Juan Pablo PĂ©rez Alfonso’s, diplomat dan politisi negara tersebut, menganggap minyak sebagai “the Devil’s excrement”. Venezuela juga menjadi rute perdagangan narkoba. Kasus pembunuhan juga sangat tinggi, bahkan menempati salah satu tertinggi di dunia. Tahun 2009 tingkat pembunuhan mencapai 57 per 100,000.Hmmmm….

Bagaimana dengan Saudi Arabia? Sebenarnya menyandingkan Venezuela dengan Saudi Arabia tidaklah terlalu tepat menurut saya. Kondisi yang ada Saudi Arabia tetap menjadi negara kaya dengan rakyatnya yang makmur. Jika ukuran yang digunakan adalah GDP maka sebagaimana yang dinyakan mBah Wiki, negara ini menempati urutan 19 di dunia. Hanya saja dalam diskusi masalah pembangunan ekonomi Saudi Arabia jarang dijadikan perbincangan. Barangkali dianggap biasa kalau GDP tinggi karena topangan sumber daya yang maksimal. Berbeda kalau yang dibincangkan adalah Singapura, Swiss atau Jepang yang lebih mengandalkan sumberdaya manusia. Wajar pula barangkali. Kita tentu tidak tertarik memperbincangkan kisah sukses seseorang yang dari sono-nya memang sudah kaya. Sebaliknya, kita akan antusias saat membaca bagaimana orang-orang dari kalangan bawah bisa menggapai mimpinya.

Ups…maaf makin jauh saja. Jadi, inti dari konsepsi balanced scorecard dalam sebuah strategi  adalah bagaimana mengintegrasikan keempat aspek tersebut kedalam strategi organisasi. Dalam konteks instansi pemerintah adalah bagaimana memandang SDM sebagai satu kekuatan untuk menghasilkan layanan publik yang maksimal untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Alhasil, jika semua berjalan pada akhirnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dalam pertumbuhan ekonomi juga akan terlihat. (Bagian 1 serial balanced-scorecard).
---------------------------end.

Kontributor : Nur Ana Sejati dalam obrolan Warung Kopi Pemda
Balanced-Scorecard: Tak Sekedar Alat Ukur Kinerja, repost by Rulianto Sjahputra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar