Pages

Selasa, 23 September 2014

Kupas Tuntas Pro Dan Kontra RUU Pilkada Tahun 2014



yang pasti kita sebagai warga Negara dan rakyat hanya berharap bahwa hak berpolitik kita tetap dapat tersalurkan secara bebas dalam pesta demokrasi lokal maupun nasional, dengan juga tidak lupa memperhatikan kebutuhan dasar kita yang lain yang harus kita peroleh dari pelayanan publik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Jangan sampai Cuma sekadar mau besar besaran mengikuti hajat pemilu secara seremonial yang menghabiskan dana anggaran pemerintah pusat/daerah yang ternyata malah memperkecil pos anggaran pembangunan dan pelayanan publik lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.

Kupas Tuntas Pro Dan Kontra RUU Pilkada Tahun 2014
Tanggapan tentang RUU Pilkada/Litbangkompas/ruli

Bulan September 2014 ini di negeri kita sedang hangat dengan polemik pro kontra terhadap wacana penetapan Rancangan Undang undang (RUU) menyangkut RUU Pilkada dan RUU Pemda yang sesungguhnya memiliki keterkaitan diantara keduanya. Dari kedua RUU tersebut, RUU Pilkada lebih mendominasi mengingat ranahnya tidak hanya menyentuh birokrasi tetapi juga kepada hak rakyat dalam memilih pemimpinnya di daerah. Postingan kali ini akan kami sajikan berbagai pendapat pro dan kontra tentang RUU Pilkada yang kami input dari berbagai laporan media masa sebagai bahan pengayaan wawasan kita bersama.

Beberapa Hal Yang Perlu Dipahami Tentang RUU Pilkada

Apa itu RUU Pilkada?

RUU ini disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri sejak 2010 dan mengandung dua ketentuan baru yaitu: 
  • Pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota
  • Wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS
  • gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi

Dampaknya?

Jika disahkan pada 25 September 2014 kelak, pilkada akan berlaku serentak di 202 kabupaten/kota provinsi mulai 2015.

Kenapa pilkada tidak langsung?

  • Pilkada langsung menelan biaya besar
  • Sejak 2004, pilkada langsung sudah mengantarkan 290 orang yang bermasalah dengan hukum ke kursi kekuasaan
  • Kementerian Luar Negeri mencatat sudah lebih dari 300 orang kepala daerah terpilih sejak 2004 terjerat kasus korupsi

Bagaimana polarisasi di parlemen?

Partai politik yang mendukung pilkada melalui DPRD: Gerindra: 26 kursi PKS: 57 kursi PAN: 43 kursi PPP: 37 kursi Golkar: 107 kursi Demokrat 150 kursi Total: 420 kursi (75 %)

Yang mendukung pilkada langsung: PKB: 27 kursi Hanura: 18 kursi PDIP: 95 kursi Total: 140 kursi (25 %).

Sikap politisi? 

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok mundur dari Partai Gerindra karena perbedaan pendapat terkait RUU Pilkada.

"Kalau saya tidak bisa tunduk terhadap keputusan partai, ya sudah. Konsekuensinya saya akan mengajukan surat berhenti," kata Ahok.


Selain Ahok, walikota Bandung Ridwan Kamil dan sejumlah anggota Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) juga telah menyatakan menolak pemilihan tidak langsung.


Empat Opsi Pilihan Dalam RUU Pilkada

Ada tiga opsi mekanisme pemilihan kepala daerah yang dibahas dalam Panja RUU Pilkada tersebut. Pertama, pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih langsung seperti sekarang. Kedua pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih DPRD. Dan ketiga, gubernur dipilih langsung tetapi bupati dan walikota dipilih DPRD.

Parpol di Koalisi Merah Putih yang terdiri Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung opsi kedua. Yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD. 

Sedangkan yang memilih opsi pertama, yaitu kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat disokong oleh fraksi PDIP dan Hanura. Sementara PKB menginginkan adanya pemilihan langsung hanya untuk gubernur, dan untuk walikota dan bupati dipilih oleh DPRD.

Satu opsi tambahan (opsi keempat) diajukan oleh Partai Demokrat. (Baca di: tempo.co)

Pemerintah-DPR Masih Beda Pendapat Soal RUU Pilkada

  
(jppn.comKetua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Hakam Naja, mengakui masih ada satu isu krusial lagi yang perlu dibahas dalam RUU Pilkada sebelum disahkan menjadi undang-undang.

Di satu sisi pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) hanya memilih kepala daerah, sementara wakilnya diusulkan oleh kepala daerah kepada DPRD. Di sisi lain, DPR menginginkan agar kepala daerah dan wakil tetap dalam satu paket.

“Kalau pemilihan langsung dan tidak masalah. Pemerintah tak terlalu ngotot, sebab DPR maunya langsung. Namun wakil kepala daerah satu paket, Kemendagri maunya dipisah. Hanya satu isu yang masih dalam perdebatan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (27/8).

Namun begitu, Hakam yakin perbedaan pandangan dapat diselesaikan sehingga RUU Pilkada dapat segera disahkan pada masa bakti DPR periode 2009-2014.
“Kita menargetkan satu kali pertemuan lagi, selesai. Sebab, pembahasannya hanya tinggal mengambil keputusan. Kita tetap optimistis, segera rampung agar tak kembali diulang pada pembahasan periode ke depan,” katanya.

Menurutnya, pemerintah dan Komisi II DPR akan kembali bertemu guna membahas RUU Pilkada dalam waktu dekat. Sehingga di awal September, dapat segera disahkan termasuk 65 paket Rancangan Undang-Undang (RUU) pemekaran daerah otonomi baru (DOB).

“Untuk DOB kami tidak targetkan berapa persen dari 65 DOB yang disahkan. Intinya hanya daerah yang memenuhi syarat saja,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR ini. 

Pendapat Dirjen Otda

RUU Pilkada yang sedang digodok di DPR mendapat tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan…sebagian besar fraksi di DPR menginginkan kepala daerah dipilih lewat DPRD seperti jaman era orde baru…

Pilkada secara langsung selama ini menghabiskan banyak sekali biaya…dari 540 kepala daerah ada sekitar 332 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi…belum lagi terbentuknya dinasti politik…kepala daerah banyak yang mengangkat saudara-saudaranya, istri atau suaminya, anak-menantunya menjadi pejabat-pejabat publik seperti yang sudah kita dengar akhir-akhir ini…
Menurut Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri mengatakan pilkada tidak langsung nanti juga akan ada uji publik, uji publik nanti akan berlangsung 3 kali sampai benar-benar berkualitas bahkan uji publik ini melarang peserta pemilu berasal dari keluarga kepala daerah…uji publik itu akan menghasilkan surat uji publik yang akan dipakai untuk memenuhi persyaratan utama untuk mendaftar sebagai peserta pemilu…

Setelah kemarin banyak kepala daerah yang menolak isi RUU Pilkada itu kini giliran anggota DPRD yang menyatakan pro RUU Pilkada…kata mereka “negara ini harus berubah”…. (motoabout).


Pendapat Partai Politik

Kupas Tuntas Pro Dan Kontra RUU Pilkada Tahun 2014
Pendapat Parpol tentang RUU Pilkada/ruli

nasional.kompas.com. Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wawan Ichwanuddin, mengatakan, peta suara fraksi-fraksi di DPR terkait RUU Pilkada belum jelas. Pasalnya, dukungan Partai Demokrat terhadap pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat masih menyisakan sejumlah catatan.

"Demokrat memang telah menyatakan mendukung pilkada langsung oleh rakyat, tetapi ada catatan-catatan yang diberikan sehingga dukungan Demokrat ini menurut saya masih meragukan," kata Wawan dihubungi dari Jakarta, seperti dikutipAntara.

Dia mengatakan, Demokrat tidak akan mendukung pilkada langsung di DPR jika beberapa catatan itu tidak diakomodasi dalam RUU Pilkada. (Baca: Dukung Pilkada Langsung, Ini 10 Syarat yang Diminta Demokrat).

Di sisi lain, jika Demokrat benar mendukung pilkada langsung oleh rakyat, patut dipertanyakan pula apakah seluruh kader Demokrat yang berjumlah 158 orang akan datang dalam sidang paripurna pada 25 September mendatang untuk memenangkan suara jika terjadi voting.

"Suara Demokrat ini yang paling menarik untuk dicermati. Apa yang dinyatakan DPP Partai Demokrat kemarin itu belum jaminan di DPR," ujar dia.

Sementara itu, terkait terbelahnya suara Golkar, Wawan menilai hal itu tidak akan memengaruhi suara mayoritas kader Golkar di DPR untuk mendukung pilkada oleh DPRD. Wawan mengatakan, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie bersama sejumlah petinggi di DPP masih bisa mengonsolidasikan suara kader di DPR.

"Suara Golkar yang terbelah itu kemungkinan hanya satu-dua orang saja, layaknya saat voting masalah kasus Century," ujar dia.

RUU Pilkada rencananya akan disahkan pada 25 September mendatang, melalui sidang paripurna. Koalisi Merah Putih mendorong pilkada lewat DPRD, sementara koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla, ditambah Demokrat, mempertahankan pilkada langsung.

Pendapat Ahli Tata Negara

Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara tak langsung alias melalui DPRD dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah  (RUU Pilkada) akan membuat mereka menjadi sapi perah partai politik. Dengan demikian, anggapan pemilihan tak langsung dapat meminimalisir korupsi terbantahkan.

"Kepala daerah harus bawa uang ke DPP parpol. Tanda tangan sekjen atau elite itu pasti sudah diperas. Faktor kelakuan parpol yang sering seperti itu memperlakukan kepala daerah sebagai sapi perah," tutur Refly di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (11/9/2014).

Refly pun mengkritisi anggapan 332 kepala daerah yang terlibat korupsi adalah produk gagal pemilu langsung. Ia melihat hal itu merupakan prestasi dari KPK untuk pemberantasan korupsi.

"332 kepala daerah tersangka korupsi, kalau nggak perbaiki sistem antikorupsi maka kita susah berantas. 332 itu angka setelah KPK kerja, bukan kejaksaan tingkat lokal. Tidak adil kalau kita tuntut pemilu tidak langsung, ini karena pengawasan kita kurang," jelasnya.

Refly menjelaskan, tidak etis pula bila pemilihan diwakili DPRD. Alasannya, masyarakat menginginkan pemilihan tersebut, sehingga sudah tak perlu lagi diwakili.

"Kalau rakyat sebagai pemilik kedaulatan mau langsung masa dipersoalkan. Lebih enak datang ke pernikahan langsung datang atau pakai perwakilan," tandas Refly.

Partai Gerindra yang mendukung pilkada melalui DPRD dalam Rancangan Undang-Undang Pilkada (RUU Pilkada) beralasan, pilkada tak langsung ini sesuai dengan semangat antikorupsi.

"Jadi, pilkada langsung harus diakui rawan korupsi. Kalau lewat DPRD itu relatif lebih mudah diawasi dan dikontrol KPK. Ini sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi," kata anggota Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra Martin Hutabarat saat dihubungi, Jakarta, Jumat 5 September 2014.

Anggota Komisi III DPR itu mengatakan, pilkada langsung lekat dengan manipulasi uang. Selama pengalaman 10 tahun penerapan mekanisme pilkada langsung, pengeluaran seorang calon kepala daerah untuk membiayai pertarungannya bisa mencapai ratusan miliar untuk tingkat Kabupaten dan Kota. Selain itu, konsekuensi yang harus diterima calon terpilih akan menggenjot balik modal lewat cara culas.

Kupas Tuntas Pro Dan Kontra RUU Pilkada Tahun 2014
RUU Pilkada di tengah percaturan politik/rulianto sjahputra


Pilkada Langsung dan Tidak Langsung, Sama Saja


(jpnn.com). Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan substansi masalah dalam sistem pilkada bukan pada cara dipilih, langsung atau melalui DPRD.

Namun, bagaimana partai politik memainkan kedua sistem tersebut. Sebab kata dia, kedua sistem itu bisa menghasilkan kepala daerah yang baik dan bisa juga menghasilkan kepala daerah yang buruk, tergantung pada partai politiknya.

"Bukan berarti dengan pilkada langsung semuanya jadi baik dan bukan juga sebaliknya. Itu semua tergantung pada partai politik yang memainkan peran. Pemilihan langsung bisa berhasil dengan baik, kalau partai politik memainkan hal ini dengan baik. Begitu juga dengan pilkada melalui DPRD, bisa baik, bisa juga buruk," kata Asep, saat dihubungi wartawan, Selasa (23/9).
Dikatakan, pilkada oleh DPRD ada politik yang. Dalam pilkada langsung, juga banyak sekali ditemukan money politics dan partai terbukti masih mendapatkan uang mahar dari calon yang akan dipilih secara langsung itu.

"Di rezim pilkada langsung, para calon harus memberikan sejumlah uang mahar kepada partai politik yang mengusungnya. Tidak ada yang gratis juga kan? Lantas, apa bedanya dengan pilkada melalui DPRD yang katanya dipenuhi dengan money politics? Yang mendapatkan keuntungan tetap juga partai politik," ujarnya.

Anggapan bahwa dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD juga tidak bisa menghasilkan kepala daerah yang baik menurutnya juga tidak sepenuhnya benar.

Jika partai politik memainkan dengan benar, maka meski lewat DPRD hasilnya pun bisa benar. "Wakil rakyat itu kan sudah dipilih langsung oleh rakyat, kalau mereka benar-benar wakil rakyat, tentunya mereka mengedepankan kepentingan rakyat dan bukan pesanan di luar kepentingan rakyat. Selama mereka memilih berdasarkan aspirasi rakyat, maka tidak masalah, rakyat menyerahkannya pada wakilnya," kata Asep.

Asep justru melihat perdebatan dan substansi mengenai sistem pemilihan langsung atau melalui DPRD saat ini tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat.

Sistem yang diperdebatkan saat ini menurutnya hanya mengedepankan kepentingan kekuasaan dan partai politik semata. Masing-masing kubu menurutnya tidak ada yang mengedepankan kepentingan rakyat.

"Koalisi Merah Putih (KMP) menginginkan pilkada lewat DPRD karena kalau mereka kompak, maka kepala daerah akan mereka kuasai. Sementara koalisi yang dipimpin oleh PDIP dan Jokowi merasa hanya dengan pilkada langsung mereka masih bisa menguasai pemilukada. Kalau mereka mengedepankan kepentingan rakyat, maka seharusnya sistem parpol yang harus diubah dan ditegakkan, sehingga tidak ada yang namanya money politics," pungkasnya.

RUU Pilkada Harus Klop dengan RUU Pemda


(jppn.com). Ketua Komisi II DPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa, mengatakan sinkronisasi antara Rancangan Undang-Undang Pemerintah Daerah (RUU Pemda), Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) dan Undang-Undang Tentang Desa, penting dilakukan. Ini agar tidak saling bertabrakan dalam implementasi pelaksanaan di lapangan nantinya.

Kupas Tuntas Pro Dan Kontra RUU Pilkada Tahun 2014
Polemik RUU Pilkada/ruli
 “Sinkronisasi wajib dilakukan agar undang-undang yang satu dengan yang lain saling mengunci atau tidak bertabrakan. Ini dikenal dengan harmonisasi. Apalagi ketiganya berasal dari satu undang-undang, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang pemerintah daerah,” katanya di sela-sela rapat Sinkronisasi Komisi II DPR dengan pemerintah di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (23/9).

Selain berasal dari satu undang-undang, sinkronisasi juga perlu dilakukan, karena menurut Agun, ketiga undang-undang tersebut nantinya juga berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintah. Karena itu sinkronisasi benar-benar harus dilakukan secara teliti, agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.

“Kalau RUU Pemda itu kan tentang tatakelola Pemda, Kemudian RUU Pilkada mengatur mekanisme penyelenggaraan pilkada. Nah RUU Apdem ini mengatur prosedur dan tata cara pelaksanaan dalam menjalankan pemerintahannya. Termasuk dalam membuat kebijakan,” katanya.

Jadi bagaimana pembaca yang budiman, … yang pasti kita sebagai warga Negara dan rakyat hanya berharap bahwa hak berpolitik kita tetap dapat tersalurkan secara bebas dalam pesta demokrasi lokal maupun nasional, dengan juga tidak lupa memperhatikan kebutuhan dasar kita yang lain yang harus kita peroleh dari pelayanan publik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Jangan sampai Cuma sekadar mau besar besaran mengikuti hajat pemilu secara seremonial yang menghabiskan dana anggaran pemerintah pusat/daerah yang ternyata malah memperkecil pos anggaran pembangunan dan pelayanan publik lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.

Kesimpulannya,……. Peningkatan kesejahteraan rakyat yang merata secara signifikan sepertinya lebih penting untuk kita perjuangkan. (Rulianto Sjahputra).
-----------
Download :
  1. Draff RUU Pilkada Tahun 2014
  2. Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Pilkada (1)
  3. Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Pilkada (2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar