yang pasti kita sebagai warga Negara dan rakyat hanya berharap bahwa hak berpolitik kita tetap dapat tersalurkan secara bebas dalam pesta demokrasi lokal maupun nasional, dengan juga tidak lupa memperhatikan kebutuhan dasar kita yang lain yang harus kita peroleh dari pelayanan publik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Jangan sampai Cuma sekadar mau besar besaran mengikuti hajat pemilu secara seremonial yang menghabiskan dana anggaran pemerintah pusat/daerah yang ternyata malah memperkecil pos anggaran pembangunan dan pelayanan publik lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.
![]() |
Tanggapan tentang RUU Pilkada/Litbangkompas/ruli |
Bulan September 2014 ini di negeri
kita sedang hangat dengan polemik pro kontra terhadap wacana penetapan
Rancangan Undang undang (RUU) menyangkut RUU Pilkada dan RUU Pemda yang
sesungguhnya memiliki keterkaitan diantara keduanya. Dari kedua RUU tersebut,
RUU Pilkada lebih mendominasi mengingat ranahnya tidak hanya menyentuh
birokrasi tetapi juga kepada hak rakyat dalam memilih pemimpinnya di daerah. Postingan
kali ini akan kami sajikan berbagai pendapat pro dan kontra tentang RUU Pilkada
yang kami input dari berbagai laporan media masa sebagai bahan pengayaan
wawasan kita bersama.
Beberapa Hal Yang
Perlu Dipahami Tentang RUU Pilkada
Apa itu RUU Pilkada?
RUU
ini disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri sejak 2010 dan mengandung dua
ketentuan baru yaitu:
- Pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota
- Wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS
- gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi
Dampaknya?
Jika
disahkan pada 25 September 2014 kelak, pilkada akan berlaku serentak di 202 kabupaten/kota provinsi mulai 2015.
Kenapa pilkada tidak langsung?
- Pilkada langsung menelan biaya besar
- Sejak 2004, pilkada langsung sudah mengantarkan 290 orang yang bermasalah dengan hukum ke kursi kekuasaan
- Kementerian Luar Negeri mencatat sudah lebih dari 300 orang kepala daerah terpilih sejak 2004 terjerat kasus korupsi
Bagaimana polarisasi di parlemen?
Partai
politik yang mendukung pilkada melalui DPRD: Gerindra: 26 kursi PKS: 57 kursi
PAN: 43 kursi PPP: 37 kursi Golkar: 107 kursi Demokrat 150 kursi Total: 420 kursi
(75 %)
Yang mendukung pilkada langsung: PKB: 27 kursi Hanura: 18 kursi
PDIP: 95 kursi Total: 140 kursi (25 %).
Sikap politisi?
Yang mendukung pilkada langsung: PKB: 27 kursi Hanura: 18 kursi
PDIP: 95 kursi Total: 140 kursi (25 %).
Wakil
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok mundur dari Partai
Gerindra karena perbedaan pendapat terkait RUU Pilkada.
"Kalau
saya tidak bisa tunduk terhadap keputusan partai, ya sudah.
Konsekuensinya saya akan mengajukan surat berhenti," kata Ahok.
Selain
Ahok, walikota Bandung Ridwan Kamil dan sejumlah anggota Asosiasi Pemerintah
Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) juga telah menyatakan menolak pemilihan tidak
langsung.
Empat Opsi
Pilihan Dalam RUU Pilkada
Ada tiga opsi
mekanisme pemilihan kepala daerah yang dibahas dalam Panja RUU Pilkada
tersebut. Pertama, pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih langsung
seperti sekarang. Kedua pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih DPRD.
Dan ketiga, gubernur dipilih langsung tetapi bupati dan walikota dipilih DPRD.
Parpol di Koalisi Merah Putih yang terdiri Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung opsi kedua. Yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Sedangkan yang memilih opsi pertama, yaitu kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat disokong oleh fraksi PDIP dan Hanura. Sementara PKB menginginkan adanya pemilihan langsung hanya untuk gubernur, dan untuk walikota dan bupati dipilih oleh DPRD.
Satu opsi tambahan (opsi keempat) diajukan oleh Partai Demokrat. (Baca di: tempo.co)
Pemerintah-DPR
Masih Beda Pendapat Soal RUU Pilkada
(jppn.com) Ketua Panitia
Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Hakam
Naja, mengakui masih ada satu isu krusial lagi yang perlu dibahas dalam RUU
Pilkada sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Di satu sisi
pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan agar
pemilihan kepala daerah (pilkada) hanya memilih kepala daerah, sementara
wakilnya diusulkan oleh kepala daerah kepada DPRD. Di sisi lain, DPR
menginginkan agar kepala daerah dan wakil tetap dalam satu paket.
“Kalau
pemilihan langsung dan tidak masalah. Pemerintah tak terlalu ngotot, sebab DPR
maunya langsung. Namun wakil kepala daerah satu paket, Kemendagri maunya
dipisah. Hanya satu isu yang masih dalam perdebatan,” ujarnya di Jakarta, Rabu
(27/8).
Namun begitu,
Hakam yakin perbedaan pandangan dapat diselesaikan sehingga RUU Pilkada dapat
segera disahkan pada masa bakti DPR periode 2009-2014.
“Kita
menargetkan satu kali pertemuan lagi, selesai. Sebab, pembahasannya hanya
tinggal mengambil keputusan. Kita tetap optimistis, segera rampung agar tak
kembali diulang pada pembahasan periode ke depan,” katanya.
Menurutnya,
pemerintah dan Komisi II DPR akan kembali bertemu guna membahas RUU Pilkada
dalam waktu dekat. Sehingga di awal September, dapat segera disahkan termasuk
65 paket Rancangan Undang-Undang (RUU) pemekaran daerah otonomi baru (DOB).
“Untuk DOB
kami tidak targetkan berapa persen dari 65 DOB yang disahkan. Intinya hanya
daerah yang memenuhi syarat saja,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR ini.
Pendapat
Dirjen Otda
RUU Pilkada
yang sedang digodok di DPR mendapat tanggapan yang beragam dari berbagai
kalangan…sebagian besar fraksi di DPR menginginkan kepala daerah dipilih lewat
DPRD seperti jaman era orde baru…
Pilkada
secara langsung selama ini menghabiskan banyak sekali biaya…dari 540 kepala
daerah ada sekitar 332 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi…belum lagi
terbentuknya dinasti politik…kepala daerah banyak yang mengangkat
saudara-saudaranya, istri atau suaminya, anak-menantunya menjadi
pejabat-pejabat publik seperti yang sudah kita dengar akhir-akhir ini…
Menurut
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri mengatakan pilkada tidak langsung nanti juga
akan ada uji publik, uji publik nanti akan berlangsung 3 kali sampai
benar-benar berkualitas bahkan uji publik ini melarang peserta pemilu berasal
dari keluarga kepala daerah…uji publik itu akan menghasilkan surat uji publik
yang akan dipakai untuk memenuhi persyaratan utama untuk mendaftar sebagai
peserta pemilu…
Setelah
kemarin banyak kepala daerah yang menolak isi RUU Pilkada itu kini giliran
anggota DPRD yang menyatakan pro RUU Pilkada…kata mereka “negara ini harus
berubah”…. (motoabout).
Pendapat
Partai Politik
![]() |
Pendapat Parpol tentang RUU Pilkada/ruli |
nasional.kompas.com. Pengamat
politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wawan Ichwanuddin, mengatakan,
peta suara fraksi-fraksi di DPR terkait RUU Pilkada belum jelas. Pasalnya,
dukungan Partai Demokrat terhadap pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat
masih menyisakan sejumlah catatan.
"Demokrat
memang telah menyatakan mendukung pilkada langsung oleh rakyat, tetapi ada
catatan-catatan yang diberikan sehingga dukungan Demokrat ini menurut saya
masih meragukan," kata Wawan dihubungi dari Jakarta, seperti dikutipAntara.
Dia
mengatakan, Demokrat tidak akan mendukung pilkada langsung di DPR jika beberapa
catatan itu tidak diakomodasi dalam RUU Pilkada. (Baca: Dukung Pilkada Langsung, Ini 10
Syarat yang Diminta Demokrat).
Di sisi lain, jika Demokrat benar mendukung pilkada langsung oleh rakyat, patut dipertanyakan pula apakah seluruh kader Demokrat yang berjumlah 158 orang akan datang dalam sidang paripurna pada 25 September mendatang untuk memenangkan suara jika terjadi voting.
"Suara
Demokrat ini yang paling menarik untuk dicermati. Apa yang dinyatakan DPP
Partai Demokrat kemarin itu belum jaminan di DPR," ujar dia.
Sementara
itu, terkait terbelahnya suara Golkar, Wawan menilai hal itu tidak akan
memengaruhi suara mayoritas kader Golkar di DPR untuk mendukung pilkada oleh
DPRD. Wawan mengatakan, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie bersama sejumlah
petinggi di DPP masih bisa mengonsolidasikan suara kader di DPR.
"Suara
Golkar yang terbelah itu kemungkinan hanya satu-dua orang saja, layaknya saat voting masalah
kasus Century," ujar dia.
RUU Pilkada
rencananya akan disahkan pada 25 September mendatang, melalui sidang paripurna.
Koalisi Merah Putih mendorong pilkada lewat DPRD, sementara koalisi Joko
Widodo-Jusuf Kalla, ditambah Demokrat, mempertahankan pilkada langsung.
Pendapat
Ahli Tata Negara
Liputan6.com,
Jakarta - Pakar hukum
tata negara Refly Harun menilai, pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara tak
langsung alias melalui DPRD dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala
Daerah (RUU Pilkada) akan membuat mereka menjadi
sapi perah partai politik. Dengan demikian, anggapan pemilihan tak langsung
dapat meminimalisir korupsi terbantahkan.
"Kepala daerah harus bawa uang ke DPP parpol. Tanda tangan sekjen atau elite itu pasti sudah diperas. Faktor kelakuan parpol yang sering seperti itu memperlakukan kepala daerah sebagai sapi perah," tutur Refly di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (11/9/2014).
Refly pun mengkritisi anggapan 332 kepala daerah yang terlibat korupsi adalah produk gagal pemilu langsung. Ia melihat hal itu merupakan prestasi dari KPK untuk pemberantasan korupsi.
"332 kepala daerah tersangka korupsi, kalau nggak perbaiki sistem antikorupsi maka kita susah berantas. 332 itu angka setelah KPK kerja, bukan kejaksaan tingkat lokal. Tidak adil kalau kita tuntut pemilu tidak langsung, ini karena pengawasan kita kurang," jelasnya.
Refly menjelaskan, tidak etis pula bila pemilihan diwakili DPRD. Alasannya, masyarakat menginginkan pemilihan tersebut, sehingga sudah tak perlu lagi diwakili.
"Kalau rakyat sebagai pemilik kedaulatan mau langsung masa dipersoalkan. Lebih enak datang ke pernikahan langsung datang atau pakai perwakilan," tandas Refly.
Partai
Gerindra yang mendukung pilkada melalui DPRD dalam Rancangan Undang-Undang
Pilkada (RUU Pilkada) beralasan, pilkada tak langsung ini sesuai dengan
semangat antikorupsi.
"Jadi, pilkada langsung harus diakui rawan korupsi. Kalau lewat DPRD itu relatif lebih mudah diawasi dan dikontrol KPK. Ini sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi," kata anggota Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra Martin Hutabarat saat dihubungi, Jakarta, Jumat 5 September 2014.
"Jadi, pilkada langsung harus diakui rawan korupsi. Kalau lewat DPRD itu relatif lebih mudah diawasi dan dikontrol KPK. Ini sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi," kata anggota Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra Martin Hutabarat saat dihubungi, Jakarta, Jumat 5 September 2014.
Anggota Komisi III DPR itu mengatakan, pilkada langsung lekat dengan manipulasi uang. Selama pengalaman 10 tahun penerapan mekanisme pilkada langsung, pengeluaran seorang calon kepala daerah untuk membiayai pertarungannya bisa mencapai ratusan miliar untuk tingkat Kabupaten dan Kota. Selain itu, konsekuensi yang harus diterima calon terpilih akan menggenjot balik modal lewat cara culas.
![]() |
RUU Pilkada di tengah percaturan politik/rulianto sjahputra |
Pilkada
Langsung dan Tidak Langsung, Sama Saja
(jpnn.com). Pakar hukum
tata negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan
substansi masalah dalam sistem pilkada bukan pada cara dipilih, langsung atau
melalui DPRD.
Namun,
bagaimana partai politik memainkan kedua sistem tersebut. Sebab kata dia, kedua
sistem itu bisa menghasilkan kepala daerah yang baik dan bisa juga menghasilkan
kepala daerah yang buruk, tergantung pada partai politiknya.
"Bukan
berarti dengan pilkada langsung semuanya jadi baik dan bukan juga sebaliknya.
Itu semua tergantung pada partai politik yang memainkan peran. Pemilihan
langsung bisa berhasil dengan baik, kalau partai politik memainkan hal ini
dengan baik. Begitu juga dengan pilkada melalui DPRD, bisa baik, bisa juga
buruk," kata Asep, saat dihubungi wartawan, Selasa (23/9).
Dikatakan,
pilkada oleh DPRD ada politik yang. Dalam pilkada langsung, juga banyak sekali
ditemukan money politics dan partai terbukti masih mendapatkan uang mahar dari
calon yang akan dipilih secara langsung itu.
"Di
rezim pilkada langsung, para calon harus memberikan sejumlah uang mahar kepada
partai politik yang mengusungnya. Tidak ada yang gratis juga kan? Lantas, apa
bedanya dengan pilkada melalui DPRD yang katanya dipenuhi dengan money
politics? Yang mendapatkan keuntungan tetap juga partai politik," ujarnya.
Anggapan
bahwa dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD juga tidak bisa menghasilkan
kepala daerah yang baik menurutnya juga tidak sepenuhnya benar.
Jika partai
politik memainkan dengan benar, maka meski lewat DPRD hasilnya pun bisa benar.
"Wakil rakyat itu kan sudah dipilih langsung oleh rakyat, kalau mereka
benar-benar wakil rakyat, tentunya mereka mengedepankan kepentingan rakyat dan
bukan pesanan di luar kepentingan rakyat. Selama mereka memilih berdasarkan
aspirasi rakyat, maka tidak masalah, rakyat menyerahkannya pada wakilnya,"
kata Asep.
Asep justru
melihat perdebatan dan substansi mengenai sistem pemilihan langsung atau
melalui DPRD saat ini tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat.
Sistem yang
diperdebatkan saat ini menurutnya hanya mengedepankan kepentingan kekuasaan dan
partai politik semata. Masing-masing kubu menurutnya tidak ada yang
mengedepankan kepentingan rakyat.
"Koalisi
Merah Putih (KMP) menginginkan pilkada lewat DPRD karena kalau mereka kompak,
maka kepala daerah akan mereka kuasai. Sementara koalisi yang dipimpin oleh
PDIP dan Jokowi merasa hanya dengan pilkada langsung mereka masih bisa
menguasai pemilukada. Kalau mereka mengedepankan kepentingan rakyat, maka
seharusnya sistem parpol yang harus diubah dan ditegakkan, sehingga tidak ada
yang namanya money politics," pungkasnya.
RUU Pilkada
Harus Klop dengan RUU Pemda
(jppn.com). Ketua Komisi
II DPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa, mengatakan sinkronisasi antara Rancangan
Undang-Undang Pemerintah Daerah (RUU Pemda), Rancangan Undang-Undang Pemilihan
Kepala Daerah (RUU Pilkada) dan Undang-Undang Tentang Desa, penting dilakukan.
Ini agar tidak saling bertabrakan dalam implementasi pelaksanaan di lapangan
nantinya.
![]() |
Polemik RUU Pilkada/ruli |
“Sinkronisasi
wajib dilakukan agar undang-undang yang satu dengan yang lain saling mengunci
atau tidak bertabrakan. Ini dikenal dengan harmonisasi. Apalagi ketiganya
berasal dari satu undang-undang, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang
pemerintah daerah,” katanya di sela-sela rapat Sinkronisasi Komisi II DPR
dengan pemerintah di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (23/9).
Selain
berasal dari satu undang-undang, sinkronisasi juga perlu dilakukan, karena
menurut Agun, ketiga undang-undang tersebut nantinya juga berkaitan dengan
Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintah. Karena itu sinkronisasi
benar-benar harus dilakukan secara teliti, agar tidak menimbulkan persoalan di
kemudian hari.
“Kalau
RUU Pemda itu kan tentang tatakelola Pemda, Kemudian RUU Pilkada mengatur
mekanisme penyelenggaraan pilkada. Nah RUU Apdem ini mengatur prosedur dan tata
cara pelaksanaan dalam menjalankan pemerintahannya. Termasuk dalam membuat
kebijakan,” katanya.
Jadi
bagaimana pembaca yang budiman, … yang pasti kita sebagai warga Negara dan
rakyat hanya berharap bahwa hak berpolitik kita tetap dapat tersalurkan secara
bebas dalam pesta demokrasi lokal maupun nasional, dengan juga tidak lupa memperhatikan
kebutuhan dasar kita yang lain yang harus kita peroleh dari pelayanan publik oleh
pemerintah pusat maupun daerah. Jangan sampai Cuma sekadar mau besar besaran
mengikuti hajat pemilu secara seremonial yang menghabiskan dana anggaran
pemerintah pusat/daerah yang ternyata malah memperkecil pos anggaran pembangunan
dan pelayanan publik lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.
Kesimpulannya,…….
Peningkatan kesejahteraan rakyat yang merata secara signifikan sepertinya lebih
penting untuk kita perjuangkan. (Rulianto Sjahputra).
-----------
Download :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar