Berdasarkan undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 Kota Tangerang ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Tangerang.
Pembangunan
Kota Administratif Tangerang secara makro berpijak pada kebijaksanaan
pembangunan berdasarkan prioritas tahapan Repelita dimulai sejak Pelita I
sampai dengan Pelita V. Selain bertitik tolak dari prioritas tersebut, ada
beberapa faktor pendorong dan faktor penarik diantaranya berdasarkan
undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 Kota Tangerang ditetapkan sebagai Ibukota
Kabupaten, pesatnya pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan dapat memperbaiki
kualitas kehidupan, masih banyak tersedianya sumber daya alam sehingga dapat
menarik investor yang dapat menyerap lapangan kerja baru.
Sedangkan
dalam lingkup Jabotabek sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976,
Tangerang termasuk wilayah pengembangan Jabotabek yang dipersiapkan untuk
mengurangi ledakan penduduk DKI Jakarta, mendorong kegiatan perdagangan dan
industri yang berbatasan dengan DKI Jakarta, mengembangkan pusat-pusat
pemukiman dan mengusahakan keserasian pembangunan antara DKI Jakarta dengan
daerah yang berbatasan langsung.
Pertumbuhan
penduduk Kota Administratif Tangerang melaju begitu tinggi. Hal ini terlihat
pada data yang dituangkan dalam Rencana Umum Kota Tangerang (Perda Nomor 4
tahun 1985) Kota Administratif tangerang dapat menampung 850.000 jiwa. Menurut
sensus tahun 1990 penduduk Kota Administratif Tangerang telah mencapai 921.848
jiwa.
Lonjakan
jumlah penduduk disebabkan terutama karena kedudukan dan peranan Kota Tangerang
sebagai daerah penyangga DKI Jakarta (hinterland city). Sebagai konsekuensinya,
Kota Administratif Tangerang menjadi konsentrasi wilayah pemukiman penduduk dan
menjadi tempat kegiatan perdagangan terutama pada sektor industri. Perkembangan
sektor perdagangan dan industri di kawasan ini memancing derasnya arus imigrasi
sirkuler penduduk. Dilihat dari pertumbuhan penduduk dan dibandingkan dengan
jumlah penduduk beberapa Kotamadya di Jawa Barat, Kota Administratif Tangerang
jauh lebih tinggi.
Perkembangan
perekonomian pada tahun 1989/1990, nilai investasi dari PMA dan PMDN mencapai
US $ 1.191.585.352,00 dan nilai Non Fasilitas Industi Kecil Formal berjumlah
Rp. 12.860.551.553,99. Perkembangan tersebut didorong pula oleh perkembangan
wilayah yakni dengan adanya Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta dan Jalan Bebas
Hambatan (Jalan Toll, Access Road).
Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Kota Administratif Tangerang pada tahun 1991/1992 mencapai
Rp. 7.066.500.536,00 dan untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp.
3.284.847.747,74 serta PBB kawasan bandara Soekarno-Hatta sebesar Rp.
1.900.000.000,00.
Melihat
indikator pertumbuhan kota dengan faktor pengaruh yaitu faktor pendorong (push
factor) dan faktor penarik (pull factor), menurut pengelolaan serta
pengendalian urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang lebih
cepat dan terarah agar pelayanan masyarakat berjalan lebih baik. Dalam hal ini
seyogyanya Kota Administratif Tangerang dikembangkan menjadi daerah otonom.
Proses terbentuknya Kotamadya Daerah
Tingkat II Tangerang
, repost by Rulianto Sjahputra.
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter