|
Bukan Kebhinekaan |
JAKARTA--MICOM, Media Indoneisia.com: Desain tunggal desentralisasi di tengah keberagaman karakteristik dan kebutuhan lokal tidak menjadi jawaban atas variasi tantangan lokal Indonesia.
Lembaga Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa, menyatakan kesimpulan itu didapat melalui Strategic Policy Discussion (SPD) bertema Desentralisasi Asimetris: Gagasan dan Alternatif Kebijakan di Sekretariat Kabinet, Selasa (7/8).
Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai menyatakan, ke depan Indonesia memerlukan pengakuan atas kebhinnekaan yang perlu dituangkan dalam kerangka kebijakan desentralisasi.
Hal itu untuk menjawab soal variasi sosio-kultural, karakter geografis yang berbeda, tingkat kemajuan pembangunan yang berbeda, ketidakjelasan kewenangan antarlevel pemerintahan, dan disparitas kapasitas pemerintahan antardaerah.
UUD 1945 mengakui keberagaman asal-asal usul daerah ini. Disimpulkan juga bahwa kebijakan asimetris ini tidak hanya diberlakukan dalam model Otonomi Khusus seperti Aceh, Papua, Papua Barat, Yogyakarta, dan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, namun kerangka asimetris ini harus menjadi 'mainstream' di dalam pembangunan nasional.
Ini berarti setiap kebijakan sektoral dari kementerian harus mendesain perencanaan wilayah, regulasi sektoral, dan pembiayaan yang menghargai variasi wilayah yang berbeda-beda ini.
Kekhususan spesial seperti daerah kepulauan, perbatasan, perdesaan terpencil, atau daerah yang miskin risorsis perlu mendapat perlakuan yang berbeda, sesuai dengan karakter dan kesulitan yang dihadapi.
Pemerintah tidak hanya menerapkan kebijakan desentralisasi asimetrik di bidang politik saja, namun perlu juga asimetrik di aspek administratif dan keuangan.
Di sinilah, pentingnya memaknai hadirnya Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Strategic Policy Discussion akhirnya menyepakti bahwa tantangan utama Indonesia ke depan adalah meneguhkan kembali makna penting persatuan nasional dengan tetap menghargai dan menghormati keanekaragaman konteks dan latar belakang.
Komitmen ini harus hadir di dalam revisi UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan regulasi lainnya. "Toleransi, harmoni, dan pembangunan yang inklusif adalah agenda kolektif sebagai proyek nasional yang tak pernah berhenti," demikian Velix Wanggai.
Diskusi yang berlangsung empat jam itu menghadirkan AA GN Ari Dwipayana (Pengajar Fisipol UGM), Prof Dr Benyamien Husein (Guru Besar UI), Prof Dr Ngadisah (Guru Besar IPDN), Dr Syarief Hidayat (Peneliti LIPI), dan para wakil pemerintah pusat dan pemerintah daerah. (Liputan Media Indonesia.com, Jum’at 28 September 2012)
Repost by : ruli@nto, S.
Print
PDF
Rulianto Sjahputra
Isi dari artikel adalah hasil penyuntingan dan penterjemahan dari artikel yang sudah ada di dunia maya dan di media, Kami hanya ingin mendedikasikan blog ini untuk penyebarluasan ilmu yang semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Sesungguhnya semua ilmu adalah milik Allah S.W.T., dan kita tinggal berharap akan keberkahan dari-Nya.
Follow: | Google+ | Facebook |
Blogger
Google+
Facebook
Twitter